Ahzaa.Net: Sejarah Indonesia
Sejarah Perjuangan Pattimura Melawan Belanda di Saparua : Latar Belakang dan Penyebab Perang

Sejarah Perjuangan Pattimura Melawan Belanda di Saparua : Latar Belakang dan Penyebab Perang

Maluku sering diibaratkan sebagai "mutiara dari timur" dalam hal rempah- rempahnya, maka tidaklah mengherankan apabila orang- orang Eropa datang dan berburu kekayaan  dengan berdagang secara bebas di sana. 

Lambat laun, kepentingan perdagangan bebas itu berubah menjadi maksud berkuasa dan monopoli perdagangan. Sebelum zaman kolonial Belanda, terutama pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffles, keadaan Maluku masih kondusif yang mana Inggris bersedia membayar hasil bumi dan mengurangi kerja rodi. Selain itu ada kesempatan bagi pemuda Maluku untuk bekerja di dinas angkatan perang Inggris.

Gambar oleh Nick dari Pixabay

Latar Belakang
Akan tetapi keadaan pada zaman kolonial Belanda mulai berubah yang menyebabkan rakyat Maluku benci dengan Belanda. Hal tersebut tampak pada situasi sebagai berikut :
  1. Kegiatan monopoli semakin diperketat Terdapat kewajiban- kewajiban yang memberatkan rakyat Maluku seperti kerja paksa, penyerahan hasil perikanan, pertanian maupun perkebunan. 
  2. Adanya kabar yang mengatakan tentang pemberhentian para guru sebagai bentuk penghematan 
  3. Tersiar kabar bahwa para pemuda akan dijadikan tentara di luar Maluku
  4. Sikap sombong dari Residen Saparua terhadap orang Maluku

Kondisi tersebut di atas membuat para tokoh dan pemuda mengadakan serangkaian pertemuan secara rahasia. 
a. Pertemuan pertama diadakan di Pulau Haruku, yaitu pulau yang dihuni oleh orang- orang Islam. 
b. Pertemuan selanjutnya diadakan di Pulau Saparua, yaitu pulau yang dihuni orang-orang Kristen pada tanggal 14 Mei 1817.

Dalam kedua pertemuan itu ditarik kesimpulan bahwa rakyat Maluku tidak ingin menderita terus menerus di bawah tekanan kolonial Belanda yang kejam dan serakah. Thomas Matulessy yang kemudian terkenal dengan nama Pattimura kemudian dipercaya menjadi pemimpin karena memiliki pengalaman dalam dinas angkatan perang Inggris.

Jalannya Perang
Perlawanan dilakukan dengan menghancurkan kapal- kapal Belanda di pelabuhan. Kemudian dilanjutkan dengan merebut benteng Duurstede. Pertempuran tidak terhindarkan antara rakyat Maluku dengan pasukan Belanda  di sekitar benteng Duurstede. Belanda dipimpin oleh Residen Van Den Berg sementara dari pihak pejuang terdapat tokoh- tokoh lain seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina.

Setelah Residen dibunuh, benteng Duurstede pun jatuh dan dikuasai oleh para pejuang Maluku. Hal ini menambah semangat juang rakyat Maluku dalam melawan penjajahan.

Belanda tidak tinggal diam dengan menerjunkan bantuan 300 prajurit yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Meskipun bantuan di kawal oleh dua kapal perang, Kapal Nassau dan Evertsen, pasokan bantuan ini masih dapat digagalkan oleh pasukan Pattimura, bahkan menewaskan pimpinannya, Mayor Beetjes. 

Pattimura lantas berfokus menyerang Benteng Zeelandia di pulau Haruku, akan tetapi Belanda sudah mengetahui langkah tersebut sehingga pertahanan benteng diperkuat di bawah pimpinan Groot. Alhasil, Pattimura gagal menembus pertahanan benteng tersebut.

Pertempuran demi pertempuran terjadi dan jalan tengah berupa perundingan pun ditawarkan, namun tidak pernah terjadi kesepakatan keduanya. Belanda pada akhirnya menerjunkan seluruh kekuatannya termasuk bantuan dari pusat di Batavia untuk merebut benteng Duurstede. Dalam pertempuran yang terjadi, akhirnya benteng Duurstede jatuh kembali ke tangan Belanda. 

Perang Gerilya
Pattimura dan pasukannya tidak menyerah, mereka terus menerus melawan melalui sistem gerilya. Bulan November, beberapa pembantu Pattimura tertangkap termasuk ayah Christina Martha Tiahahu yaitu Kapten Paulus Tiahahu. Christina Martha Tiahahu marah mendengarnya dan ikut untuk melakukan perang gerilya bersama pejuang lainnya.

Pattimura menjadi orang yang paling dicari oleh Belanda, bahkan sempat ada sayembara kepada siapapun yang berhasil menangkap Pattimura akan mendapatkan hadiah 1.000 gulden. 

Akhir Perang
Pattimura akhirnya tertangkap dan pada 16 Desember 1817, ia dihukum mati di kota Ambon. Demikian juga Christina Martha Tiahahu dan pejuang- pejuang lainnya, tertangkap tetapi tidak dihukum mati, akan tetapi dibuang ke Jawa sebagai pekerja rodi. Christina Martha Tiahahu jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 2 Januari 1818. Peristiwa itu menjadi akhir dari perlawanan Pattimura dan pejuang Maluku lainnya melawan kolonialisme penjajahan Belanda di Saparua. 
Sejarah Perang Diponegoro : Latar Belakang dan Sebab terjadinya Perang, Strategi, serta Akhir Perang

Sejarah Perang Diponegoro : Latar Belakang dan Sebab terjadinya Perang, Strategi, serta Akhir Perang

Perang Diponegoro disebut juga sebagai Perang Jawa, merupakan salah satu perang besar yang di hadapi Belanda di Jawa. Perang ini berlangsung selama lima tahun yaitu dari 1825 sampai 1830 dengan kerugian yang tidak sedikit baik dari pihak rakyat Indonesia maupun Belanda. 

Latar Belakang
Perang Diponegoro sendiri dipicu oleh banyak hal, salah satunya adalah campur tangan kolonial terhadap pemerintahan lokal khususnya di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta, penderitaan rakyat dan pelecehan harga diri dan nilai- nilai budaya masyarakat. 

Photo by Randy Tarampi on Unsplash

Intervensi Belanda terhadap kepentingan Kerajaan
Campur tangan tersebut juga secara tidak langsung menggeser nilai- nilai dan budaya yang sebelumnya dengan budaya baru khususnya budaya barat. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan yang tidak sesuai nilai dan adat seperti minum minuman keras dan sebagainya.

Kebijakan yang memberatkan Rakyat
Pemerintah kolonial juga menerapkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat bahkan cenderung memeras rakyat dengan aturan- aturan yang dibuat. Sistem penyewaan tanah oleh pengusaha asing untuk kepentingan perkebunan dirasa tidak menguntungkan rakyat, malahan menjadikan rakyat sebagai sapi perahan yang menjadi tenaga kerja paksa di tanah mereka sendiri.

Selain itu, pembebanan pajak juga menimbulkan keberatan dan kekecewaan rakyat yaitu kewajiban dalam membayar berbagai jenis pajak diantaranya :
  • Pajak tanah (welah welah)
  • Pajak halaman pekarangan (pengawang awang)
  • Pajak Jumlah pintu (Pecumpling)
  • Pajak Ternak (pajigar)
  • Pajak pindah nama (penyongket)
  • Pajak menyewa tanah atau menerima jabatan (bekti)

Pertentangan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda
Pangeran Diponegoro merupakan putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo. Pertentangan Pangeran Diponegoro diawali dengan rasa ketidakpuasan akan sikap Belanda yang semena- mena dan menindas rakyat. Selain itu juga dipicu oleh budaya barat yang tidak sesuai dengan norma dan nilai- nilai budaya timur. 

Insiden Pemasangan Patok
Awal mula perang Diponegoro disebabkan sebuah insiden pemasangan patok- patok untuk jalan baru melewati pekarangan miliki Pangeran Diponegoro tanpa izin. Pemasangan ini dilakukan oleh residen di Yogyakarta yang bernama Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert, yang dikenal sangat benci terhadap Pangeran Diponegoro. Smissaert tidak sendirian dalam melancarkan aksinya, ia dibantu oleh Patih Danurejo yang juga berusaha menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Patok- patok yang dipasang kemudian di cabut oleh pengikut Pangeran Diponegoro namun Patih Danurejo memerintahkan memasangnya kembali dan akhirnya atas keberanian pengikut Pangeran Diponegoro, patok- patok yang dipasang kembali dicabut. 

Insiden pemasangan patok tersebut menjadi pemicu langsung meletusnya perang. Pada 20 Juli 1825 Rakyat Tegalrejo berkumpul di kediaman Pangeran Diponegoro dengan menyatakan kesetiaannya terhadap Pangeran dan siap melawan Belanda. Belanda lantas mengepung kediaman Pangeran Diponegoro dan terjadilah pertempuran sengit yang menyebabkan Tegalrejo dihancurkan. Pangeran dan pengikutnya lalu mundur ke arah selatan ke bukit Selarong dan membangun benteng pertahanan di Gua Selarong. 

Dalam perang yang berkecamuk, Pangeran Diponegoro yang didaulat sebagai pemimpin, mendapatkan dukungan penuh dari rakyat jelata maupun kaum bangsawan yang terdiri daripara pangeran, priyayi sepuh, dan para bupati. Berbagai bala bantuan diberikan sesuai dengan kemampuan meraka masing- masing. 

Strategi perang pun disusun di Selarong. Beberapa langkah- langkah Pangeran Diponegoro yang ditempuh adalah sebagai berikut :
  1. merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan cara menutup gerak pasukan Belanda dan mencegah masuk bantuan dari luar. 
  2. mengirim utusan kepada para bupati dan ulama agar mempersiapkan peperangan melawan Belanda. 
  3. mendaftar nama bangsawan, untuk mengetahui kawan maupun lawan.s
  4. membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi 16 wilayah perang, dan menunjuk para pemimpinnya

Adapun wilayah tersebut mencakup :
  • Yogyakarta dan sekitarnya di bawah pimpinan Pangeran Adinegoro (adik Diponegoro) 
  • Bagelen dipimpin oleh Pangeran Suryokusumo dan Tumenggung Reksoprojo. 
  • Kedu diserahkan kepada Kiai Muhammad Anfal dan Mulyosentiko serta Kiai Hasan Besari Pangeran Abubakar
  • Lowanu dipimpin oleh Pangeran Abu Bakar dan Pangeran Muhammad 
  • Kulon Progo dipimpin oleh Pangeran Adisuryo dan Pangeran Somonegoro
  • Yogyakarta bagian utara dipimpin oleh Pangeran Joyokusumo.
  • Yogyakarta bagian timur dipimpin oleh Suryonegoro, Somodiningrat, dan Suronegoro. 
  • Gunung Kidul dipimpin oleh Pangeran Singosari. 
  • Plered dipimpin oleh Kertopengalasan
  • Pajang diserahkan kepada Warsokusumo dan Mertoloyo, 
  • Sukowati dipimpin oleh Tumenggung Kertodirjo dan Mangunnegoro.
  • Gowong dipimpin oleh Tumenggung Gajah Pernolo
  • Langon dipimpin oleh Pangeran Notobroto Projo
  • Serang dipimpin oleh Pangeran Serang.

Pangeran Diponegoro sendiri merupakan pucuk pimpinan yang didampingi oleh Pangeran Mangkubumi yaitu Paman Pangeran Diponegoro, Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya. Sementara itu dukungan penuh juga dari Nyi Ageng Serang yang sejak remaja sudah anti terhadap Belanda.

Serangan Balasan
Selang tiga minggu setelah penyerangan di Tegalrejo, Pasukan Diponegoro balas menyerang ke keraton. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Sollewijn berhasil diporak porandakan dan keraton berhasil diduduki oleh Pangeran Diponegoro. 

Dalam berbagai penyerangannya, Pangeran Diponegoro banyak mendapatkan kemenangan. Pangeran Diponegoro dengan semangat Perang Sabil nya berhasil membuat pihak Belanda kalang kabut. Satu demi satu wilayah dan pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Para ulama dan pengikutnya menganugerahi gelar untuk Pangeran Diponegoro dengan sebutan Sultan Abdulhamid Herucokro.

Perang Jawa
Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro mencakup ke wilayah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang lalu ke arah timur sampai dengan Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya. Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro seolah- olah mampu menggerakkan lini kekuatan di seluruh Jawa sehingga seringkali Perang Diponegoro ini disebut sebagai Perang Jawa. 

Kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro harus diimbangi Belanda dengan meningkatkan kekuatannya. Jenderal de Kock selaku pimpinan perang Belanda mengirimkan beberapa komandan tempur untuk wilayah - wilayah tertentu seperti Letkol Clurens ke Tegal 
dan Pekalongan serta Letkol Diell ke wilayah Banyumas.

Strategi Perang
Pangeran Diponegoro menerapkan beberapa strategi perang diantaranya adalah :
  1. Penyerangan langsung, dengan melibatkan pasukan yang besar
  2. Perang gerilya
  3. Perang atrisi (penjemuan) yang menerapkan perang jangka panjang agar pihak Belanda merasa bosan.
Strategi Benteng Stelsel
Dalam perlawanannya, pasukan Pangeran Diponegoro selalu bergerak antarpos pertahanan satu ke lainnya sehingga membuat Belanda kebingungan. Karenanya, untuk menghadapi strategi perang dari Pangeran Diponegoro ini, pihak Belanda menerapkan strategi Benteng Stelsel.

Strategi Benteng Stelsel menghubungkan benteng pertahanan satu dengan lainnya dimana pusat kekuatan militer berada di Magelang. Sistem ini mampu sedikit demi sedikit mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro. 

Strategi ini juga mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Banyak diantara pemimpinnya ditangkap namun perlawanan masih terjadi di beberapa wilayah. 

Perlawanan yang paling menyita perhatian adalah penyerangan oleh pasukan Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirjo yang mampu membunuh Kapten Ingen. Pasukan Belanda difokuskan untuk menanggulangi dan mempersempit ruang pasukan Sentot Prawirodirjo.

Untuk meredam perlawanannya, bahkan Belanda pernah berkali- kali mengajak Sentot Prawirodirjo untuk melakukan perundingan, namun tidak sekalipun diterima.

Akhirnya Belanda meminta bantuan Aria Prawirodiningrat untuk membujuk Sentot Prawirodirjo untuk berunding dan Sentot Prawirodirjo pun menyanggupinya. Sehingga pada tanggal 17 Oktober 1829 ditandatanganilah Perjanjian Imogiri antara Sentot Prawirodirjo dengan pihak Belanda yang berisi :
  1. Pemberian izin Sentot Prawirodirjo untuk tetap memeluk agama Islam.
  2. Sentot Prawirodirjo tetap sebagai pemimpin dari pasukan pasalnya pasukannya tidak dibubarkan.
  3. Kebebasan bagi Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya untuk tetap memakai sorban.
Akhir Perang
Dengan masuknya Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya pada tanggal 24 Oktober 1829 menandai bahwa ia secara resmi menyerahkan diri. Penyerahan diri Sentot Prawirodirjo dan tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran Diponegoro seperti Kyai Maja dan Pangeran Mangkubumi membuat perlawanan semakin berat. 

Pada bulan Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Belanda di Magelang, Jawa Tengah namun sebenarnya perundingan tersebut hanyalah sebuah tipu muslihat untuk mengangkap Pangeran Diponegoro. Beliau kemudian ditangkap dan diasingkan  ke Manado, lalu ke Makassar hingga wafat tahun 1855.

Itulah Perang Diponegoro yang disebut- sebut sebagai Perang besar di Jawa yang pernah terjadi. Belasan ribu tentara di pihak Belanda tewas dan ratusan ribu penduduk menjadi korban meninggal  menunjukkan bahwa rakyat Indonesia begitu gigih dalam melawan tindak kolonial Belanda yang tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan keadilan. Bagaimana dengan orang- orang zaman sekarang? apakah segigih zaman dahulu? Coba kemukakan pendapatnya di kolom komentar ya.
Sejarah Perang Padri : Penyebab, Tokoh, Fase Perang, dan Akhir Perang Padri

Sejarah Perang Padri : Penyebab, Tokoh, Fase Perang, dan Akhir Perang Padri

Perang padri merupakan perang antara kaum Padri dengan pemerintahan Hindia Belanda di tanah Minangkabau Sumatra Barat. 

Latar Belakang Perang Padri
Perang Padri diawali dengan perbedaan pendapat antara kaum Padri dengan kaum adat dalam hal praktik keagamaan.  Kaum Padri terdiri dari orang- orang yang melakukan gerakan pemurnian agama Islam. Gerakan ini bermula dari seorang ulama dengan nama Tuanku Kota Tua yang mengajarkan praktik pembaharuan dalam agama Islam. Ia berpendapat bahwa masyarakat Minangkabau saat itu meskipun sudah memeluk Islam  namun masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan agama Islam. 

Photo by David Iskander on Unsplash

Tokoh- Tokoh Perang Padri
Tuanku Kota Tua memiliki murid bernama Tuanku Nan Renceh yang kemudian bersama dengan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang melanjutkan gerakan pemurnian Islam seperti yang diajarkan oleh Tuanku Kota Tua. 

Kaum Padri menentang praktik adat dan kebiasaan adat yang dilarang dalam ajaran Islam seperti praktik berjudi, minum- minuman keras dan mengadu hewan. Dalam pertikaian yang terjadi, kaum adat mendapatkan dukungan dari para pejabat penting kerajaan.

Residen Minangkabau yang bernama James Du Puy pada tanggal 10 Februari 1821 mengadakan perjanjian dengan tokoh adat, Tuanku Suruaso dan 14 penghulu Minangkabau yang isinya tentang daerah pendudukan Belanda yang mencakup beberapa wilayah. 

Perjanjian tersebut memudahkan Belanda untuk menduduki Simawang yaitu pada tanggal 10 Februari 1821 dengan menempatkan dua meriam dan 100 tentaranya. Hal ini  tentu saja ditentang oleh kaum Padri dan memicu terjadinya Perang Padri. 

Perang Padri dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap I pada tahun 1821 - 1825, tahap II pada 1825 - 1830 dan tahap III pada 1830 - 1837/ 1838. 

Fase I (1821 - 1825)
Kaum Padri mulai menyerang pos- pos di Simawang, soli Air, dan Sipinang pada bulan september 1821. Dari segi kekuatan perang, terdapat sekitar 20.000 - 25.000 pasukan digerakkan oleh Tuanku Pasaman di sekitar hutan dan gunung. sementara itu pihak Belanda menggunakan kekuatan 200 tentaranya dan pasukan pribumi serta kaum adat yang berjumlah 10.000 orang. 

Persenjataan kaum padri masih menggunakan senjata- senjata tradisional seperti parang dan tombak sementara di pihak lawan, Belanda sudah menggunakan senjata modern. 

Dari pertempuran tersebut, jatuhnya korban tidak dapat terhindarkan, 350 orang gugur dari pihak Tuanku Pasaman termasuk putranya sendiri. Begitupun dari pihak Belanda yang juga banyak kehilangan pasukannya.

Tuanku Pasaman dan sisa pasukannya akhirnya mundur  ke Lintau sedangkan Belanda mendirikan benteng di batusangkar yang dinamai dengan Fort Van der Capellen.

Kesatuan kaum Padri terpecah di beberapa wilayah. Tuanku Pasaman di daerah Lintau, Tuanku Nan Renceh di sekitar baso dan Peto Syarif di daerah Bonjol dan beberapa daerah lainnya. 

Peto Syarif dari Bonjol kemudian dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol yang terkenal gigih dalam melawan penindasan kolonial Belanda di wilayah Minangkabau. 

Dalam melawan kaum Padri yang terkenal gigih, Belanda merasa kewalahan hingga kemudian mengambil inisiatif untuk menjalankan strategi damai. Pada tanggal 26 Januari 1824 terjadilah kesepakatan damai antara kaum Padri wilayah Alahan Panjang yang kemudian dikenal dengan perjanjian Masang. Perjanjian ini ternyata digunakan Belanda sebagai taktik menguasai wilayah lainnya. 

Kesepakatan Masang tidak berlaku lama setelah Belanda menangkap Tuanku Mensiangan di kota Lawas karena menolak untuk berunding dan memilih melawan Belanda. Sehingga  Tuanku Imam Bonjol kembali memberi semangat perlawanan terhadap Belanda.  

Fase II (1825 - 1830)
Pihak Belanda wilayah Sumatra Barat, Kolonel De Stuers berusaha mengendorkan perlawanan dengan cara upaya damai. Belanda mencoba berkomunikasi dengan kaum padri untuk mengadakan perjanjian damai dan menghentikan perang. Namun ajakan damai tersebut ditolak oleh kaum Padri karena seringkali berupa siasat licik yang sudah biasa terjadi. 

Lantas pihak Belanda meminta bantuan saudagar keturunan arab yang bernama Sulaiman Al Jufri untuk membujuk pihak Padri untuk bersepakat damai. Meskipun Tuanku Imam Bonjol menolak, ternyata ada kaum Padri lainnya yang menerima yaitu Tuanku Lintau dan Tuanku Nan Renceh. Maka ditandatanganilah perjanjian padang yang isinya mencakup poin :
  • Pengakuan Belanda atas kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan jaminan atas sistem agama di wilayahnya
  • Kesepakatan untuk tidak saling menyerang satu sama lain baik pihak Padri maupun Belanda
  • Saling melindungi kedua belah pihak baik para pedagang dan orang- orang yang melakukan perjalanan
  • Praktik adu ayam akan dilarang Belanda secara bertahap

Fase III (1830 - 1837/ 1838) 
Pada tahap III perang Padri, kaum Adat sudah mulai menunjukkan rasa simpatinya pada kaum Padri. Dukungan kaum Adat membuat kekuatan pejuang meningkat. Kaum Padri dan kaum Adat kemudian bergerak memutus sarana komunikasi antarbenteng Belanda di Tanjung Alam dan Bukittinggi. 

Belanda dibawah pimpinan Gillavary kemudian merespon dengan menyerang Koto Tuo di Ampek Angkek dan membangun benteng pertahanan dari Ampang Gadang sampai ke Biaro. Selain itu Belanda juga menduduki wilayah Batang Gadis, yang terletak antara Tanjung Alam dan Batu Sangkar. 

Gillavary kemudian digantikan oleh Jacob Elout yang mendapatkan amanat untuk melakukan serangan besar- besaran terhadap kaum Padri. 

Langkah Elout dilakukan dengan menguasai beberapa nagari seperti Manggung dan Naras, Batiapuh, dan benteng Marapalam. Benteng Marapalam dapat dikuasai pada Agustus 1831 setelah dua orang Padri berkhianat menunjukkan jalan menuju benteng. Penyerangan Belanda semakin masif diterapkan seiring bantuan pasukan dari jawa pada 1832. 

Selain strategi militer, Belanda juga menerapkan strategi lain yaitu dengan cara menarik hati rakyat. Hal itu dilakukan dengan menghapus pajak dan kenaikan upah pada beberapa pekerjaan. 

Kebijakan perdamaian mulai dilakukan Belanda dengan digantikannya Cornelis Pieter Jacob Elout oleh E Francis dimana Belanda tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau.  

Plakat Panjang
Selanjutnya pemerintah Belanda mengeluarkan Plakat Panjang sebagai pernyataan yang isinya menyangkut gencatan senjata antara Belanda dan kaum Padri. Perjanjian gencatan senjata tersebut merupakan kebijakan baru untuk mencapai perdamaian. Beberapa tokoh menyetuji dan sepakat untuk berdamai namun beberapa lainnya masih melanjutkan perlawanan.

Perjuangan Tuanku Imam Bonjol sampai Akhir
Tuanku Imam Bonjol merupakan pertahanan terakhir kaum Padri setelah kekuatan Tuanku Nan Cerdik dihancurkan. Belanda pada tahun 1832 memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di Bonjol dengan memblokade jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai. Benteng perbukitan dekat Bonjol  akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada bulan Agustus 1835. 

Belanda meminta Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Tuanku Imam Bonjol sepakat berdamai asalkan Belanda memenuhi persyaratannya yaitu membebaskan rakyat Bonjol dari bentuk kerja paksa dan tidak menduduki nagari tersebut.

Belanda tidak menjawab dan semakin ketat mengepung benteng pertahanan. Satu persatu pimpinan Padri dapat ditangkap. Pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol berhasil dikepung dan berhasil dilumpuhkan namun Imam Bonjol dan beberapa pejuang lainnya masih dapat meloloskan diri. 

Belanda masih menyerukan kepada Imam Bonjol untuk menerima tawaran berunding. Akhirnya untuk menjamin keselamatan rakyatnya, Imam Bonjol menerima tawaran damai dari Belanda. Akan tetapi tawaran tersebut hanyalah tipu muslihat yang kemudian Imam Bonjol dan pengikutnya ditangkap. 

Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat dan kemudian dipindahkan ke Ambon lalu Manado hingga wafat pada 6 November 1864. 

 Mengenal Perang Tondano : Latar Belakang, Proses Jalannya Perang dan Akhir Perang

Mengenal Perang Tondano : Latar Belakang, Proses Jalannya Perang dan Akhir Perang

Perang Tondano terjadi antara 1808-1809 yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad ke-19. Perang Tondano ini terjadi sebagai akibat dari penerapan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama dalam usaha pelatihan para pemuda untuk menjadi tentara.

Perang Tondano berlangsung dalam dua tahap yaitu perang Tondano I dan perang Tondano II. 

Perang Tondano I 
Sebelum VOC datang ke tanah Minahasa, Sulawesi Utara, bangsa barat yang telah sampai lebih dahulu adalah orang Spanyol. Selain melakukan perdagangan, orang Spanyol juga menyebarkan agama. Adapun tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama kristen di Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang Spanyol dengan orang- orang Minahasa berlangsung dengan baik sebelum kehadiran VOC yang mengganggu hubungan tersebut. VOC yang telah menanamkan pengaruh di Ternate kemudian mengutus Gubernur Ternate Simon Cs untuk membebaskan Minahasa dari Spanyol. Simon Cs lantas menempatkan kapalnya di selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Akhirnya para pedagang Spanyol menyingkir dan meninggalkan Indonesia ke Filipina. 

Image by Jacek Kijewski from Pixabay 

VOC mulai menerapkan monopoli dagangnya yaitu dengan mewajibkan orang- orang Minahasa menjual beras kepadanya. Orang- orang Minahasa tidak menyetujui usaha tersebut dan menentang VOC. VOC juga membalas dengan memerangi orang- orang Minahasa. VOC lalu membendung sungai temberan yang akibatnya meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan pejuang. Para penduduk kemudian membuat rumah- rumah apung di tepi danau Tondano. 

Ultimatum  VOC
Simon Cos memberikan ultimatum sembari mengepung orang- orang Minahasa yang isinya mencakup perintah untuk menyerahkan tokoh pemberontak kepada VOC dan kewajiban membayar ganti rugi rusaknya tanaman padi dengan 50 - 60 budak. 

Ultimatum VOC dianggap angin lalu oleh rakyat Minahasa dan akhirnya VOC ditarik mundur ke Manado. 

Akhir Perang Tondano I
Sepeninggal VOC, rakyat Tondano menghadapi masalah dengan pembelian hasil pertanian yang menumpuk. Mereka lantas mendekati VOC agar mau membeli hasil pertaniannya. Dengan permohonan kerjasama itulah, terbuka pintu bagi VOC  memasuki tanah Minahasa dan berakhirlah Perang Tondano I. 

Perang Tondano II
Perang Tondano II terjadi berselang kurang lebih satu tahun kemudian dari perang Tondano I. Perang Tondano II terjadi pada tahun 1809 di masa pemerintahan kolonial Belanda.

Latar Belakang Perang Tondano II
Perang Tondano II dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Deandels dalam perekrutan pasukan dari kalangan pribumi dalam jumlah yang besar yang akan digunakan untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Perekrutan dilakukan kepada beberapa suku yang terkenal akan keberaniannya seperti Madura, Dayak dan Minahasa. 

Deandels memerintahkan Kapten Hartingh sebagai Residen Manado Prediger untuk mengumpulkan pemimpin wilayah (ukung). 

Jumlah pasukan yang akan direkrut untuk diterjunkan ke Jawa direncanakan berjumlah 2000 orang Minahasa. Pada umumnya, orang Minahasa tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Para ukung pun meninggalkan rumah dan mulai melawan para tentara kolonial.

Aktivitas dipusatkan di Tondano, Minawanua. Ukung Lunto, sebagai salah satu pemimpin perlawanan, menyatakan bahwa rakyat Minahasa harus melakukan perlawanan untuk menolak kebijakan pengiriman pemuda sebagai pasukan dan menolak pengiriman beras secara cuma- cuma kepada Belanda.

Residen Prediger kembali mengirimkan pasukan untuk menyerang pertahanan orang- orang MInahasa di Tondano. Strategi yang sama pun diterapkan seperti pada perang Tondano I yaitu membendung sungai Temberan. Selain itu pasukan tanggung juga dibentuk dan dipersiapkan untuk pertempuran. 

Ada dua pasukan tangguh Belanda yang ditugaskan, satu menyerang dari danau Tondano dan lainnya menyerang Minawanua dari darat. Pertempuran mulai berkobar sejak tanggal 23 Oktober 1808. Pasukan Belanda di danau Tondano berhasil menerobos pertahanan orang- orang Minahasa namun mereka masih tetap gigih mempertahankan wilayahnya. Sampai keesokan harinya, 23 Oktober 1808 pasukan Belanda sudah menyerang kampung pertahanan Minawanua dan menganggap sudah tidak ada lagi yang tersisa. 

Saat mengendorkan kekuatan serangannya, Belanda dikejutkan dengan serangan orang- orang Minahasa dan tak pelak lagi jatuh sehingga pasukan pun akhirnya ditarik mundur. 

Akhir Perang Tondano II
Perang Tondano II berlangsung dalam waktu yang cukup lama bahkan hampir setahun dari mulai dikobarkannya serangan perang dan akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankannya. 

Perang Tondano I dan II menjukkan semangat luar biasa rakyat Minahasa melawan penjajah. Setuju yaa? 

Mengenal Perjanjian Giyanti, Perjanjian yang Memisahkan Mataram : Latar Belakang, Isi dan Dampaknya

Mengenal Perjanjian Giyanti, Perjanjian yang Memisahkan Mataram : Latar Belakang, Isi dan Dampaknya

Sepeninggal Sultan Agung, raja- raja Mataram lebih bersikap lunak bahkan cenderung bersahabat dengan VOC. Hal ini tampak pada masa pemerintahan Pakubuwana II dimana persahabatan dijalin dengan baik antara pihak kerajaan dengan VOC. Atas dasar itulah, VOC semakin berani menekan dan mencampuri jalannya pemerintahan kerajaan Mataram. 

Keadaan tersebut membuat para bangsawan tidak suka dan kecewa. Salah satunya adalah Raden Mas Said, putra Raden Mas Riya yang kemudian dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa. Raden Mas Said memulai tugasnya sebagai pegawai rendahan istana yang bergelar R.M Ng. Suryokusumo. Kemudian ia mengajukan permohonan kenaikan pangkat dari istana, namun keluarga kepatihan mencerca dan menghina bahkan mengaitkannya dengan pemberontakan orang- orang Cina yang sedang berlangsung. 

Photo by Jonas Jacobsson on Unsplas

Sikap keluarga kepatihan membuat Raden Mas Said sakit hati dan berniat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC yang telah mengacaukan kehidupan para bangsawan yang bersahabat dengan VOC.

Kekuatan pun disusun oleh Raden Mas Said dibantu oleh R. Sutawijaya dan Suradiwangsa di luar kota. Oleh para pengikutnya, Raden Mas Said diangkat sebagai raja baru bergelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. 

Dukungan yang kuat masyarakat terhadap perlawanan Raden mas Said menjadi ancaman serius tahta kerajaan Mataram di bawah Pakubuwana II. Lantas, Pakubuwana II membuat sayembara berhadiah yang berisikan bahwa siapapun yang dapat memadamkan perlawanan Raden mas Said akan mendapatkan hadiah sebidang tanah di Sukowati atau Sragen. Namun pengumuman tersebut tidak menyurutkan Raden mas said dalam melancarkan perlawanannya terhadap VOC dan kerajaan.     

Pangeran Mangkubumi, adik dari Pakubuwana II, mencoba untuk memadamkan perlawanan Raden Mas Said, yang ternyata kemudian berhasil. Akan tetapi Pakubuwana II ingkar janji terhadap apa yang disayembarakan, sehingga membuat Pangeran Mangkubumi kecewa dan berkonflik dengan Pakubuwana II. 

Konflik tersebut diperparah dengan pernyataan dari Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) yang  menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu berambisi mencari kekuasaan sehingga membuat Pangeran Mangkubumi sangat kecewa. Pangeran Mangkubumi menganggap bahwa VOC telah terlalu jauh mencampuri urusan pemerintahan kerajaan, oleh karenanya Pangeran Mangkubumi memilih mengangkat senjata untuk melawan VOC dan menolak kebijakan Pakubuwana II yang di atur VOC. 

Pangeran mangkubumi kemudian bersatu dengan Raden Mas said untuk bersatu melawan VOC. Persatuan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi membuat kemenangan demi kemenangan diraih oleh pasukan keduanya di berbagai wilayah. 

Tidak lama kemudian, Pakubuwana II sakit keras dan mengharap VOC datang ke istana kerajaan. Gubernur Jenderal Baron van Imhoff kemudian mengutus Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp (1762-1834) untuk secepatnya menemui Pakubuwana II dan menawarkan sebuah perjanjian. 

Perjanjian VOC dengan Pakubuwana II
Perjanjian tersebut menyepakati Het Allerbelangrijkste Contract yang isinya penyerahan kerajaan Mataram kepada VOC. Adapun perihal isi perjanjian tersebut mencakup beberapa poin diantaranya :
  • Penyerahan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure oleh Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC.
  • Raja Mataram yang berhak naik tahta hanya keturunan Pakubuwana II dan penobatan dilakukan oleh VOC dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.
  • Penobatan putera mahkota akan segera dilakukan setelah Pakubuwana II wafat. Kemudian tanggal 15 Desember 1749 Van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota menjadi Susuhunan Pakubuwana III.

Kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said semakin mendalam mengetahui perihal penyerahan kerajaan Mataram kepada VOC oleh para pewaris kerajaan. Hal ini membuat keduanya meningkatkan intensitas perlawanan. 

Perjanjian Giyanti
Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir meskipun perang dan kekacauan telah menghabiskan dana yang begitu besar. Penguasa VOC membujuk  Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Melalui perantara seorang ulama besar, Syeikh Ibrahim, Pangeran Mangkubumi bersedia berunding dengan VOC dan berakhirlah perlawanan Pangeran Mangkubumi. Perjanjian tersebut dikenal dengan Perjanjian Giyanti (Palihan Negari) pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti.

Isi Perjanjian Giyanti
Adapun isi dari perjanjian Giyanti tersebut mencakup hal- hal berikut :
  • Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono dengan separuh kekuasaan Kerajaan Mataram dimana hak- hak kekuasaan akan diberikan atau diwariskan secara turun-temurun.
  • Adanya jalinan kerjasama antara rakyat kesultanan dengan rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC.
  • Sumpah setia para bupati maupun pejabat eksekutif terhadap VOC.
  • VOC memiliki andil untuk urusan pengangkatan bupati atau pejabat eksekutif.
  • Pengampunan harus dilakukan kepada para pejabat baik bupati maupun eksekutif yang memihak VOC dalam peperangan.
  • Hak pulau Madura atau pesisir lain yang telah diberikan Pakubuwono II kepada VOC, tidak akan dipermasalahkan oleh Sultan namun sebagai gantinya VOC akan memberi uang ganti rugi sebesar 10.000 real setiap tahunnya.
  • Jika Sultan Pakubuwono III membutuhkan bantuan, maka Sultan Hamengkubuwono akan menyanggupinya.
  • VOC menentukan harga bahan makanan yang dijual oleh Sultan.
  • Segala perjanjian yang dibuat antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC akan dipatuhi dan ditepati isinya. 

Dampak Perjanjian Giyanti
Sebagai akibat dari perjanjian Giyanti, maka Mataram terpecah menjadi dua wilayah yaitu wilayah bagian barat atau daerah Yogyakarta  diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang berkuasa dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sementara bagian timur atau wilayah Surakarta tetap diperintah oleh Pakubuwana III dengan sebutan Kasunanan Surakarta.

Sementara itu, perlawanan Raden Mas Said berakhir dalam perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya mengangkat Raden mas Said sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. 

Itulah tentang Perjanjian Giyanti, yang memisahkan Mataram menjadi dua wilayah yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dalam bahasa Jawa, Perjanjian Giyanti sering disebut dengan Perjanjian Palihan Negari yang membagi dua wilayah. Bagaimana pendapat teman- teman tentang perjanjian Giyanti? Apakah perjanjian tersebut memang benar- benar meredakan konflik yang terjadi? Yuk tuliskan di kolom komentar ya?

Salam. 
Politik Etis di Masa Kolonial : Latar Belakang, Program, dan Dampak bagi Kemajuan Pendidikan Bangsa Indonesia

Politik Etis di Masa Kolonial : Latar Belakang, Program, dan Dampak bagi Kemajuan Pendidikan Bangsa Indonesia

Pemerintah Hindia Belanda memeroleh keuntungan sebesar- besarnya pada penerapan sistem tanam paksa, namun kaum moralis- libralis mengecamnya hingga puncaknya adalah penerbitan dua buku karya Douwes Dekker dan Fransesn de Pute yang mendesak pembubaran dari Sistem Tanam Paksa. 

Salah satu tokoh moralis- liberalis yang juga seorang politikus dan intelektual di Hindia Belanda, Conraad Theodore Van Deventer. Melalui tulisannya, “Een Eereschlud’ (utang kehormatan), yang dimuat di majalah  De Gids pada tahun 1899, ia mengungkapkan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah memanfaatkan sebesar- besarnya wilayah jajahan untuk membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Oleh sebab itu, Pemerintah Belanda seharusnya membayar utang budi tersebut dengan mensejahterakan rakyat di negara jajahan khususnya Indonesia. 

Photo by Hello I'm Nik on Unsplash

Tulisan Van Deventer tersebut menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Kalangan yang setuju atau pro berpendapat bahwa pihak pemerintah wajib mengembalikan hasil keuntungan dari eksploitasi yang dilakukan melalui peningkatan kesejahteraan bidang kehidupan, pendidikan dan peran masyarakat dalam pemerintahan. 

Pemerintah Belanda memandang serius atas kritikan tersebut hingga mengeluarkan suatu kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jajahan yaitu Hindia Belanda melalui kebijakan Politik Etis.

Sistem Politik Etis dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg. Ia kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916).

Program Politik Etis
Terdapat tiga program politik etis yang dicanangkan yaitu irigasi, edukasi dan transmigrasi. Kebijakan politik Belanda atas negeri jajahan atas munculnya Politik Etis ini mengalami perubahan dalam hal pandangan. Hal tersebut dapat terlihat dari berbagai pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalur kereta api Jawa dan Madura dan alat transportasi trem- trem listrik di kota- kota besar yang mulai dioperasikan pada masa tersebut. Pada bidang pertanian, dibangunnya irigasi- irigasi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu pengiriman tenaga- tenaga kerja murah ke daerah perkebunan di Sumatra. 

Selain infrastruktur dan pertanian, bidang pendidikan juga mulai mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan perluasan pendidikan gaya barat sebagai model pendidikan modern. Pendidikan dapat menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara dan pihak swasta. 

Bidang Pendidikan
Sistem pendidikan gaya barat membuka peluang munculnya kaum intelektual bumiputra yang kemudian memicu kesadaran bersama bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa- bangsa lainnya dalam mencapai kemajuan. Golongan- golongan intelektual sebagian besar dari kalangan yang berprofesi sebagai guru maupun jurnalis. Melalui pendidikan dan jurnalisme, maka pemikiran dapat disalurkan dalam hal kemajuan bangsa dan arahnya kepada pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan kolonialisme. 

Pendirian Sekolah
Pada tahun 1900, sudah ada 169 Eurepese Lagree School (ELS) di seluruh Hindia Belanda dimana para siswanya dapat melanjutkan pendidikan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) ke Batavia atau Hoogeree Burgelijk School (HBS) di Surabaya. STOVIA merupakan Sekolah Dokter Jawa  di Batavia yang dikenal akan kaum- kaum aktivisnya sebagai tokoh pergerakan kebangsaan. Selain itu terdapat pula sekolah OSVIA yaitu sekolah untuk calon pegawai sebanyak enam buah. 

Sekolah untuk para guru pun dikembangkan, yaitu dibangunnya beberapa sekolah guru meskipun sebenarnya sekolah guru (Kweekkschool)sudah di awali dibuka di Solo sejak 1852. 

Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan di Indonesia dimulai dengan jenjang pendidikan dasar atau Hollands Inlandse School (HIS) kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).  Sekolah lanjutan dari sekolah tersebut adalah jenjang menengah yaitu Algemene Middelbare School (AMS), ataupun sekolah  Hogere Burger School (HBS).

Khusus untuk kaum pribumi terdapat “Sekolah Kelas Satu” dimana para siswanya berasal dari anak-anak golongan atas yang nantinya akan menjadi pegawai. Selain itu terdapat pula sekolah kelas dua (sekolah ongko loro) yang diperuntukkan khusus untuk rakyat pada umumnya.  

Dampak Kemajuan Pendidikan
Sekolah atau pendidikan pada penerapan sistem politik etis secara tidak langsung memengaruhi pemikiran kaum pribumi bahwa pendidikan merupakan hal yang penting. Selain itu pendidikan akan mempercepat proses modernisasi dan munculnya kaum terpelajar yang nantinya akan membawa pada kesadaran nasionalisme.

Nah, itulah Politik Etis di Masa Kolonial, bagaimana latar belakang, program, dan dampaknya bagi kemajuan pendidikan bangsa Indonesia. Semoga bermanfaat. 
Mengenal Berbagai Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Persekutuan Dagang Asing

Mengenal Berbagai Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Persekutuan Dagang Asing

Kedatangan bangsa barat ke wilayah timur khususnya Indonesia pada awalnya bertujuan untuk mencari rempah- rempah yang akan diperdagangkan. Pada awal kedatangannya, mereka mendapat tanggapan yang baik dari bangsa Indonesia, namun lambat laun sikap angkuh dan sombong serta ingin menguasai mulai ditampakkan, yang mengakibatkan penderitaan bangsa Indonesia. HIngga pada akhirnya bangsa barat mendapat pertentangan dan perlawanan di berbagai wilayah. Perlawanan dimulai terhadap persekutuan dagang baik yang dijalankan oleh Portugis maupun Belanda dengan VOC-nya. Adapun perlawanan terjadi di berbagai wilayah seperti Maluku, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Jawa. 

Gambar oleh Tumisu, please consider ☕ Thank you! 🤗 dari Pixabay

Perang Tidore - Portugis
Perang Tidore dan Portugis merupakan contoh perlawanan antara bangsa Indonesia melawan kongsi dagang bangsa barat di wilayah Indonesia timur. Perang ini terjadi pada tahun 1529 yang disebabkan oleh aksi Portugis merintangi perdagangan antara Banda dengan Tidore. Aksi tersebut dilakukan dengan cara menembaki perahu dari Banda yang akan membeli rempah- rempah berupa cengkih di Tidore. Tidore pun tidak menerima apa yang dilakukan oleh Portugis sehingga melakukan perlawanan.

Pada perang tersebut, Portugis mendapat kemenangan karena siasat mengadu domba antara kerajaan Ternate dan Tidore yang akhirnya Portugis mendapat dukungan dari kerajaan Bacan. 

Sultan Hairun bersama rakyat kemudian setuju bersatu untuk menghancurkan Portugis dan mengobarkan perlawanan pada tahun 1565. Portugis-pun terdesak dan menawarkan perundingan kepada Sultan Hairun dan Sultan menyetujui untuk dilakukan perundingan.  

Perundingan Portugis dan Sultan Hairun dilakukan di Benteng Sao Paolo pada tahun 1570. Saat perundingan berlangsung, Portugis menerapkan siasat licik dengan menangkap dan membunuh Sultan Hairun. Rakyat Maluku pun marah  dan melakukan perlawanan di bawah pimpinan Sultan Baabullah yaitu anak dari Sultan Hairun.

Ternate dan Tidore bersatu melawan Portugis, dan akhirnya dapat terusir dari Ternate pada tahun 1575. Portugis menetap di Ambon sebelum diusir oleh VOC pada tahun 1605 yang kemudian berlabuh ke daerah Timor Timur dan melakukan pendudukan wilayah tersebut.

Perlawanan Sultan Iskandar Muda Di Aceh
Portugis berkonflik dengan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1639). Pada masa itu Aceh sudah memiliki armada laut yang kuat hingga dapat mengangkut 800 prajurit. Wilayah Aceh terbentang sampai ke Sumatra Timur dan Sumatra Barat. Aceh pernah mencoba melakukan serangan terhadap Portugis namun gagal. Meskipun belum berbuah kemenangan, Aceh masih menjadi kerajaan yang merdeka. 

Perlawanan Sultan Hasanuddin
Sultan hasanuddin berasal dari kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan yang oleh orang Belanda sering disebut dengan Ayam Jantan dari Timur. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab, Sultan Hasanuddin terkenal gigih dan tangguh dalam melawan Belanda sehingga mereka gentar dan takut. 

Belanda (VOC) menggunakan siasat adu domba dalam menghancurkan Sultan hasanuddin. VOC memanfaatkan situasi perselisihan antara kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dengan Bone yang dipimpin oleh Aru Palaka. Atas dukungan VOC, Kerajaan Bone menang atas kerajaan Gowa pada tahun 1666. Kekalahan tersebut membuat Sultan hasanuddin menandatangani Perjanjian yang terkenal dengan nama Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. 

Adapun isi dari Perjanjian Bongaya adalah sebagai berikut :
  • Monopoli dagang rempah- rempah di Makasar diserahkan kepada Belanda
  • Didirikannya benteng pertahanan di Makasar
  • Keharusan Makasar untuk melepas daerah kekuasaan di luar Makasar
  • Pengakuan Aru Palaka sebagai Raja Bone

Perjanjian tersebut memutus kerajaan Gowa sebagai kerajaan yang terkuat di Sulawesi yang akhirnya sulit untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. 

Perlawanan Raja Mataram terhadap VOC
Mataram merupakan kerajaan besar di Jawa tengah yang dipimpin oleh Sultan Agung. Pada awalnya Mataram dan VOC menjalin hubungan baik yang dibuktikan dengan pemberian izin untuk mendirikan benteng gudang untuk kantor dagang di Jepara tahun 1615. Sebagai imbal baliknya, Belanda juga memberikan hadiah berupa dua meriam untuk Mataram. 

Namun, perselisihan terjadi karena sikap monopoli Belanda. Penyerangan Jepara oleh van der Marct atas perintah Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen pada tangga 8 November 1618 menyebabkan kerugian yang besar pada pihak Mataram sehingga memperuncing perselisihan antara Mataram dan Belanda.

Penyerangan Sultan Agung ke Batavia
Raja Mataram Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia sebanyak dua kali. 
Serangan pertama Mataram ke VOC, 
  • Serangan dilakukan pada tahun 1628 yang dipimpin oleh Tumenggung Baurekso
  • Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628 yang kemudian disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, dan kedua bersaudara yaitu Kiai Dipati Mandurejo dan Upa Santa.
  • Serangan pertama mengalami kegagalan yang disebabkan oleh kurangnya perbelakan dan persenjataan Mataram yang kalah modern dibandingkan tentara Belanda
  • Pasukan ditarik kembali ke Mataram pada tanggal 3 Desember 1628 dan terdapat kurang lebih 1000 prajurit Mataram gugur dalam medan pertempuran melawan Belanda.

Serangan kedua  Mataram ke VOC,
  • Serangan kedua dilakukan di bawah pimpinan Kyai Adipati Juminah, K.A Puger, dan K.A Purbaya.
  • Kelemahan pada serangan pertama disikapi dengan persiapan lumbung makanan didirikan di berbagai tempat
  • Serangan dimulai pada tanggal 1 Agustus sampai 1 Oktober 1629.
  • Serangan kedua mengalami kegagalan akibat persediaan makanan yang banyak dihancurkan oleh Belanda sehingga memperlemah kekuatan Mataram. 

Itulah berbagai perlawanan bangsa Indonesia terhadap persekutuan dagang asing pada masa kerajaan. Adakah lagi perlawanan yang belum sempat disebutkan diatas? Yuk tambahkan melalui kolom komentar ya..

Salam. 
Dampak Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Bangsa Indonesia di Masa Penjajahan

Dampak Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Bangsa Indonesia di Masa Penjajahan

Pada masa pendudukannya, pemerintah kolonial membuat berbagai kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung berdampak bagi rakyat Indonesia. Diawali dari sistem penjualan tanah partikelir kemudian sistem tanam paksa yang diterapkan,  sampai dengan sistem politik pintu terbuka membawa penderitaan dan kerugian bagi rakyat pribumi Indonesia. 

Image by <a href="https://pixabay.com/users/qimono-1962238/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=1875247">Arek Socha</a> from <a href="https://pixabay.com/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=1875247">Pixabay</a>
Source : Pixabay



Dampak Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Bangsa Indonesia
Dampak kebijakan pemerintah kolonial terhadap bangsa Indonesia mencakup berbagai bidang diantaranya bidang ekonomi, sosial, politik maupun budaya. 

Dalam bidang ekonomi, misalnya, pelaksanaan kebijakan pemerintah berimbas pada tingkat kesejahteraan penduduk yang sangat rendah. Alhasil terjadi penurunan laju pertambahan penduduk. Akibat kebijakan pemerintah kolonial juga, rakyat semakin tertekan akibat pemberlakuan sistem perpajakan yang memberatkan. Disamping kedua hal tersebut, banyak rakyat yang kehilangan tanahnya yang akhirnya menjadi buruh dengan upah kerja yang sangat rendah.

Dalam bidang sosial, sebagai akibat penerapan kebijakan sistem tanam paksa maupun politik pintu terbuka, kedudukan kepala daerah dalam negara tradisional semakin melemah. Hal tersebut dikarenakan ada pengawasan ketat oleh para pejabat asing. Dalam strata masyarakat, ada tiga lapisan sosial yaitu pejabat birokrasi kerajaan, kaum tuan tanah dan rakyat lapisan bawah. Akibat peneritaan rakyat tersebut, muncullah gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum petani, gerakan keagamaan dan sebagainya. Namun, seiring munculnya kebutuhan petugas administrasi Belanda dan tuan tanah partikelir, masyarakat yang terdidik berkembang pesat dengan diadakannya pendidikan bagi masyarakat meskipun tidak mencakup semua golongan.

Dalam bidang politik, yaitu pengaruh Belanda yang semakin kuat  campur tangannya terhadap kekuasaan tradisional bumi putra seperti pergantian tahta kerajaan, pengkat pejabat kerajaan dan penentuan kebijakan politik kerajaan. Selain itu penguasan tradisional semakin bergantung pada kekuasaan asing sehingga kebebasan dalam menentukan masalah pemerintahan semakin berkurang.  

Dalam bidang budaya, yaitu merasuknya budaya Eropa yang negatif seperti kebiasaan minum- minuman keras di kalangan bangsawan yang secara langsung merusak tatanan kehidupan budaya tradisional bangsa Indonesia. Hal itulah yang menyebabkan penentangan oleh kaum agamawan terhadap pemerintah Belanda dan para bangsawan atau pejabat yang telah merusak tatanan kehidupan agama melalui kebiasaan negatif tersebut. 

Itulah dampak kebijakan pemerintah kolonial terhadap bangsa Indonesia yang dilakukan melalui sistem- sistem kebijakan seperti penjualan tanah partikelir, sistem tanam paksa, dan politik pintu terbuka yang secara nyata telah membawa efek penderitaan bagi bangsa Indonesia di masa itu.

Semoga segala bentuk penjajahan dapat dihapuskan dari muka bumi ini. 

Salam.
Sistem Politik Pintu Terbuka (Politik Liberal) pada Masa Penjajahan Belanda : Latar Belakang, Tujuan, Ketentuan dan Dampaknya bagi Rakyat

Sistem Politik Pintu Terbuka (Politik Liberal) pada Masa Penjajahan Belanda : Latar Belakang, Tujuan, Ketentuan dan Dampaknya bagi Rakyat

Meskipun pelaksanaan sistem tanam paksa membawa keuntungan yang besar bagi Belanda hingga dapat memperbaiki perekonomian negaranya, namun tidak semua kalangan setuju dengan pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Timbullah kalangan yang berpandangan pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut. 

Kelompok pro yang mendukung adanya sistem tanam paksa sebagian besar berasal dari kalangan pemerintah dan kelompok konservatif. Kelompok ini berpendapat bahwa sistem tanam paksa membawa keuntungan yang besar bagi para pemegang saham NHM (Nederlansche Handel Matschappij) sebagai pihak yang mendapat hak monopoli untuk mengangkut hasil - hasil tanaman yang diperoleh dari sistem tanam paksa dari Hindia Belanda ke Eropa.  

Gambar oleh Nick dari Pixabay


Sedangkan pihak yang menentang sistem tanam paksa merupakan kelompok yang bersimpati terhadap penderitaan kaum pribumi yang sebagian besar terdiri dari kalangan agamawan dan penganut asas liberalisme. Kaum liberal ini berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak ikut dalam urusan ekonomi, yang sepatutnya menjadi urusan pihak swasta.

Latar Belakang Sistem Politik Liberal
Pandangan liberal semakin kuat dalam menanamkan pengaruhnya kepada pemerintah sehingga membuat pemerintah Belanda mulai goyah dalam pendiriannya. Hal tersebut diperkuat dengan kemenangan politik di parlemen (Staten Generaal) yang memiliki kewenangan lebih besar dalam urusan tanah jajahan.

Sistem liberal menuntut adanya perubahan dan pembaruan seperti pengurangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Dalam hal iin pihak swasta-lah yang akan mengatur kegiatan ekonomi. Peran pemerintah hanyalah sebagai pembuat regulasi hukum, pelindung warga, dan membangun sarana prasarana untuk memperlancar aktivitas masyarakat. 

Terbitnya dua buku yaitu Max Haveelar dan Suiker Contractor mendorong pelaksanaan tanam paksa diakhiri. Kritik keras yang dilontarkan kedua buku tersebut memicu penolakan tanam paksa oleh kalangan umum. Pada akhirnya tanam paksa dihapus dan digantikan oleh sistem politik ekonomi liberal.



Penerapan sistem politik ekonomi liberal tidak terlepas dari perjanjian atau kesepakatan dalam Traktat Sumatra antara Belanda dan Inggris yang dijelaskan bahwa :

Belanda mendapat kesempatan untuk meluaskan wilayahnya sampai Aceh dengan balasan penerapan ekonomi liberal pada tanah jajahannya dapat dilakukan sehingga Inggris selaku pihak swasta dapat menanamkan modal pada tanah jajahan Belanda di Hindia.


Ketentuan Sistem Politik Ekonomi Liberal
Sistem politik ekonomi liberal memberikan ruang bagi pihak swasta untuk ikut mengembangkan sistem perekonomian di tanah jajahan Belanda, oleh karenanya pihak Belanda juga membuat ketentuan- ketentuan yang mengatur pelaksanaan sistem politik ekonomi liberal tersebut, diantaranya :
  1. Disahkannya Undang- undang Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet) yang termaktub bahwa setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh parlemen.
  2. Dikeluarkannya Undang-Undang Gula (Suiker Wet) yang mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah. Pengaturan oleh pemerintah tersebut secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.
  3. Disahkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870 yang mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan.

Ketentuan Undang Undang Agraria
Berkaitan dengan Undang- Undang Agraria, ada beberapa ketentuan yang ditegaskan antara lainnya
  • Pembagian tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda menjadi dua bagian yaitu pertama, tanah milik penduduk pribumi yang berupa persawahan, kebun, ladang dan sebagainya,  dan kedua, tanah pemerintah berupa hutan, pegunungan dan tanah yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi.
  • Penerbitan surat bukti kepemilikan tanah dilakukan oleh Pemerintah.
  • Tanah- tanah milik pemerintah maupun tanah milik penduduk dapat disewakan dengan ketentuan bahwa tanah pemerintah dapat disewakan sampai 75 tahun sementara tanah penduduk dapat disewa selama lima tahun sampai dengan tiga puluh tahun.

Era Imperialisme Modern
Sistem politik pintu terbuka mengakibatkan pihak swasta memasuki tanah jajahan di Hindia Belanda dan mulailah mengeksploitasi tanah jajahan. Hal inilah secara tidak langsung memulai era imperialisme modern dan berkembangnya kapitalisme di Hindia Belanda. 

Tanah jajahan di Hindia Belanda merupakan tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing. Selain itu juga sebagai tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa dan penyedia tenaga kerja yang murah.

Melalui sistem politik pintu terbuka inilah usaha perkebunan yang mencakup tanaman perkebunan seperti tebu, tembakau, kopi, teh, kina kelapa sawit dan karet semakin berkembang. Hal ini tentu meningkatkan ekspor ke luar negeri. 

Pembangunan Sarana dan Prasarana
Sarana prasarana pun dibangun seperti jalan, jembatan, jalur kereta api bahkan saluran irigasi untuk membantu kelancaran pengangkutan hasil perkebunan dari wilayah terpencil ke daerah pelabuhan atau pantai. Beberapa sarana  prasarana yang dibangun diantaranya :

Gambar oleh Peter H dari Pixabay


Jalur Kereta Api
Jalur kereta api pada tahun 1873 yaitu pertama kali di Jawa, antara Semarang dan Yogyakarta, diikuti Batavia dan Bogor dan jalur Surabaya -  Malang. Pembangunan jalur kereta api juga dilakukan di wilayah Sumatra pada akhir abad ke-19. Selain untuk kepentingan ekonomi, pembangunan jalur kereta api di Sumatra juga dimaksudkan untuk tujuan politik dan militer seperti pada pembangunan jalan kereta api di wilayah Aceh sebagai daerah yang akan dikuasai. Sementara itu jalur kereta api juga ditujukan untuk kepentingan pertambangan seperti pada daerah Sumatra Barat dengan pertambangan batubaranya.

Pelabuhan - Pelabuhan
Pelabuhan- pelabuhan dibangun untuk mendukung sistem politik pintu terbuka seperti pembangunan pelabuhan di beberapa wilayah yaitu pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan Belawan di Sumatra Timur dan Pelabuhan Teluk Bayur di Padang. 

Penderitaan Rakyat
Meskipun sistem telah berubah namun rakyat tetap mengalami penderitaan atas kebijakan yang diambil pemerintah Hindia Belanda. Hal itu dapat terlihat dari beberapa bukti berikut :
  • Pembangunan sarana dan prasarana yang terus dilakukan melibatkan kerja paksa rakyat
  • Rakyat tetap dibebani dengan pembayaran pajak sedangkan penghasilan dari hasil pertanian semakin menurun
  • Rakyat tidak dapat berbuat banyak saat mengalami kemunduran dalam pembuatan barang barang kerajinan yang didesak oleh alat- alat yang lebih maju.
  • Alat transportasi semakin maju sehingga meminggirkan alat transportasi tradisional yang dikeola masyarakat seperti dokar ataupun gerobak. 

Itulah penerapan sistem politik ekonomi liberal di Indonesia yang ternyata membawa dampak untuk bangsa Indonesia di masa penjajahan. Masih adakah bangunan peninggalan masa itu saat ini? Yuk share di kolom komentar yaa...

Salam.
Menguak Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Tonggak Lahirnya Orde Baru: Latar Belakang, Tujuan dan Isinya

Menguak Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Tonggak Lahirnya Orde Baru: Latar Belakang, Tujuan dan Isinya

Ada sejarah yang tidak akan dilupakan pada bulan Maret yaitu bulan dimana Supersemar ditandatangani yang kemudian menjadi tonggak lahirnya orde baru menggantikan orde lama. Keluarnya Supersemar didahului oleh rangkaian- rangkaian peristiwa seperti pemberontakan PKI, pergolakan politik hingga tuntutan rakyat yang dikenal dengan Tritura. Nah, apa saja yang menjadi lahirnya Supersemar, tujuan dan juga isinya, simak yaa ulasannya berikut ini. 

Krisis politik yang memuncak membuat Presiden Soekarno mengadakan sidang kabinet pada tanggal 11 Maret 1966. Sidang dilaksanakan, namun pada saat yang sama, para demonstran memboikot pada jalan- jalan menuju istana dengan cara mengempeskan ban- ban mobil dengan tujuan menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI. 

Gambar oleh Photo Mix dari Pixabay 

Saat Presiden bersidang, Komandan Cakrabirawa, Brigjen Sabur, memberitahukan adanya pasukan tanpa tanda pengenal di luar istana dan akhirnya pun Presiden Soekarno akhirnya segera meninggalkan sidang. 

Beberapa tokoh juga ikut meninggalkan sidang termasuk Waperdam I Dr Subandrio dan Waperdam III Dr Chaerul Saleh, yang kemudian bersama Presiden Soekarno bertolak menuju Bogor dengan helikopter. Sepeninggal tokoh- tokoh tersebut ke Bogor, sidang ditutup oleh Waperdam II Dr J Leimena, yang kemudian menyusul mereka. 

Langkah ke Bogor juga diikuti oleh tiga orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen. Basuki Rahmat, Brigjen M Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud yang sepakat juga menuju kesana. Sebelum berangkat, ketiganya meminta izin kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto, selaku panglima Kopkamtib. 

Pada saat menyampaikan izin, Mayjen Basuki Rachmat menanyakan perihal pesan khusus dari Letjen. Soeharto untuk disampaikan kepada Presiden Soekarno. Letjen Soeharto menitikan pesan melalui ucapan bahwa beliau (Letjen Suharto) akan tetap pada kesanggupannya dan Presiden Soekarno akan mengerti maksudnya. 

Ucapan tersebut merupakan latar belakang sejak pertemuan Presiden Soekarno dengan Letjen Soeharto di Bogor tanggal 2 Oktober 1965. Pasalnya keduanya memiliki perbedaan pandangan dalam meredakan pergolakan politik yang terjadi. Letjen. Soeharto berpandangan bahwa meredanya pergolakan rakyat termasuk pemenuhan rasa keadilan dan hilangnya ketakutan akan tercapai dengan cara membubarkan PKI, sebagai pihak yang melakukan pemberontakan. Sementara itu Presiden Soekarno berpendapat bahwa PKI tidak dapat dibubarkan olehnya karena bertentangan dengan doktrin NASAKOM yang sudah dicanangkan oleh dunia. 

Oleh karena itu, perbedaan paham itu tetap muncul hingga pada suatu ketika Letjen Soeharto menyatakan kesanggupannya untuk membubarkan PKI dengan syarat ada kebebasan bertindak dari Presiden Soekarno. Itulah pesan yang disampaikan Letjend Soeharto kepada ketiga perwira tinggi yang akan berangkat ke Bogor. 

Ketiga perwira tinggi, Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud berbicara dengan Presiden Soekarno yang didampingi Dr. Subandrio, Dr. J Leimena, dan Dr. Chaerul Saleh. Dalam pembicaraan tersebut diperoleh keputusan agar ketiga perwira tinggi tersebut bersama komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur membuat konsep surat kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan situasi dan kewibawaan pemerintah. Surat perintah yang dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11 Maret, atau Supersemar itu kemudian ditandatangani oleh Presiden Soekarno. 

Latar Belakang Supersemar
Dari berbagai situasi yang terjadi, ada beberapa faktor yang melatar belakangi lahirnya Supersemar, di antaranya mengatasi keadaan negara yang secara umum dalam keadaan kacau dan genting akibat situasi yang tak menentu akibat pemberontakan G 30 S/ PKI. Selain itu Supersemar ditujukan untuk menyelamatkan negara Kesatuan Republik Indonesia dan memulihkan keadaan serta wibawa pemerintah.  

Isi Supersemar
Adapun isi dari Supersemar adalah memberikan perintah kepada Letjen Soeharto, sebagai Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Selain itu penerima mandat harus melaporkan segala sesuatunya kepada Presiden dalam menjalankan tugasnya. 

Langkah pertama yang dilakukan Letjen Soeharto setelah menerima Supersemar tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI serta organisasi massa yang berlindung dalam paham yang sama dengan PKI di seluruh Indonesia, yaitu terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966. Langkah tersebut mendapat dukungan penuh dari rakyat yang menginginkan agar tuntutannya dikabulkan dalam tritura. Tindakan Letjen Soeharto selanjutnya setelah membubarkan PKI adalah menghimbau agar para pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah.

Supersemar juga menjadi dasar atas dikeluarkannya Keputusan Presiden No 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri. Menteri- menteri tersebut dianggap terlibat dengan pemberontakan G 30 S/PKI maupun menampakkan maksud yang tidak baik dalam penyelesaian masalah tersebut. 

Letjen Soeharto lantas mengangkat lima orang menteri koordinator ad-interim yang menjadi Presidium Kabinet untuk membantu kelancaran tugas pemerintah yaitu Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Dr Roeslan Abdulgani, Dr KH Idham Chalid dan Dr J Leimena. 

Itulah hal- hal yang menjadi rangkaian sampai Supersemar ditandatangani dan dikeluarkan sebagai awal dari lahirnya orde baru. Selamat ber bulan Maret, bulannya Supersemar.

Salam Sejarah.

Formulir Kontak