Ahzaa.Net: Perjanjian Giyanti
Mengenal Perjanjian Giyanti, Perjanjian yang Memisahkan Mataram : Latar Belakang, Isi dan Dampaknya

Mengenal Perjanjian Giyanti, Perjanjian yang Memisahkan Mataram : Latar Belakang, Isi dan Dampaknya

Sepeninggal Sultan Agung, raja- raja Mataram lebih bersikap lunak bahkan cenderung bersahabat dengan VOC. Hal ini tampak pada masa pemerintahan Pakubuwana II dimana persahabatan dijalin dengan baik antara pihak kerajaan dengan VOC. Atas dasar itulah, VOC semakin berani menekan dan mencampuri jalannya pemerintahan kerajaan Mataram. 

Keadaan tersebut membuat para bangsawan tidak suka dan kecewa. Salah satunya adalah Raden Mas Said, putra Raden Mas Riya yang kemudian dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa. Raden Mas Said memulai tugasnya sebagai pegawai rendahan istana yang bergelar R.M Ng. Suryokusumo. Kemudian ia mengajukan permohonan kenaikan pangkat dari istana, namun keluarga kepatihan mencerca dan menghina bahkan mengaitkannya dengan pemberontakan orang- orang Cina yang sedang berlangsung. 

Photo by Jonas Jacobsson on Unsplas

Sikap keluarga kepatihan membuat Raden Mas Said sakit hati dan berniat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC yang telah mengacaukan kehidupan para bangsawan yang bersahabat dengan VOC.

Kekuatan pun disusun oleh Raden Mas Said dibantu oleh R. Sutawijaya dan Suradiwangsa di luar kota. Oleh para pengikutnya, Raden Mas Said diangkat sebagai raja baru bergelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. 

Dukungan yang kuat masyarakat terhadap perlawanan Raden mas Said menjadi ancaman serius tahta kerajaan Mataram di bawah Pakubuwana II. Lantas, Pakubuwana II membuat sayembara berhadiah yang berisikan bahwa siapapun yang dapat memadamkan perlawanan Raden mas Said akan mendapatkan hadiah sebidang tanah di Sukowati atau Sragen. Namun pengumuman tersebut tidak menyurutkan Raden mas said dalam melancarkan perlawanannya terhadap VOC dan kerajaan.     

Pangeran Mangkubumi, adik dari Pakubuwana II, mencoba untuk memadamkan perlawanan Raden Mas Said, yang ternyata kemudian berhasil. Akan tetapi Pakubuwana II ingkar janji terhadap apa yang disayembarakan, sehingga membuat Pangeran Mangkubumi kecewa dan berkonflik dengan Pakubuwana II. 

Konflik tersebut diperparah dengan pernyataan dari Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) yang  menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu berambisi mencari kekuasaan sehingga membuat Pangeran Mangkubumi sangat kecewa. Pangeran Mangkubumi menganggap bahwa VOC telah terlalu jauh mencampuri urusan pemerintahan kerajaan, oleh karenanya Pangeran Mangkubumi memilih mengangkat senjata untuk melawan VOC dan menolak kebijakan Pakubuwana II yang di atur VOC. 

Pangeran mangkubumi kemudian bersatu dengan Raden Mas said untuk bersatu melawan VOC. Persatuan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi membuat kemenangan demi kemenangan diraih oleh pasukan keduanya di berbagai wilayah. 

Tidak lama kemudian, Pakubuwana II sakit keras dan mengharap VOC datang ke istana kerajaan. Gubernur Jenderal Baron van Imhoff kemudian mengutus Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp (1762-1834) untuk secepatnya menemui Pakubuwana II dan menawarkan sebuah perjanjian. 

Perjanjian VOC dengan Pakubuwana II
Perjanjian tersebut menyepakati Het Allerbelangrijkste Contract yang isinya penyerahan kerajaan Mataram kepada VOC. Adapun perihal isi perjanjian tersebut mencakup beberapa poin diantaranya :
  • Penyerahan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure oleh Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC.
  • Raja Mataram yang berhak naik tahta hanya keturunan Pakubuwana II dan penobatan dilakukan oleh VOC dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.
  • Penobatan putera mahkota akan segera dilakukan setelah Pakubuwana II wafat. Kemudian tanggal 15 Desember 1749 Van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota menjadi Susuhunan Pakubuwana III.

Kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said semakin mendalam mengetahui perihal penyerahan kerajaan Mataram kepada VOC oleh para pewaris kerajaan. Hal ini membuat keduanya meningkatkan intensitas perlawanan. 

Perjanjian Giyanti
Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir meskipun perang dan kekacauan telah menghabiskan dana yang begitu besar. Penguasa VOC membujuk  Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Melalui perantara seorang ulama besar, Syeikh Ibrahim, Pangeran Mangkubumi bersedia berunding dengan VOC dan berakhirlah perlawanan Pangeran Mangkubumi. Perjanjian tersebut dikenal dengan Perjanjian Giyanti (Palihan Negari) pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti.

Isi Perjanjian Giyanti
Adapun isi dari perjanjian Giyanti tersebut mencakup hal- hal berikut :
  • Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono dengan separuh kekuasaan Kerajaan Mataram dimana hak- hak kekuasaan akan diberikan atau diwariskan secara turun-temurun.
  • Adanya jalinan kerjasama antara rakyat kesultanan dengan rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC.
  • Sumpah setia para bupati maupun pejabat eksekutif terhadap VOC.
  • VOC memiliki andil untuk urusan pengangkatan bupati atau pejabat eksekutif.
  • Pengampunan harus dilakukan kepada para pejabat baik bupati maupun eksekutif yang memihak VOC dalam peperangan.
  • Hak pulau Madura atau pesisir lain yang telah diberikan Pakubuwono II kepada VOC, tidak akan dipermasalahkan oleh Sultan namun sebagai gantinya VOC akan memberi uang ganti rugi sebesar 10.000 real setiap tahunnya.
  • Jika Sultan Pakubuwono III membutuhkan bantuan, maka Sultan Hamengkubuwono akan menyanggupinya.
  • VOC menentukan harga bahan makanan yang dijual oleh Sultan.
  • Segala perjanjian yang dibuat antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC akan dipatuhi dan ditepati isinya. 

Dampak Perjanjian Giyanti
Sebagai akibat dari perjanjian Giyanti, maka Mataram terpecah menjadi dua wilayah yaitu wilayah bagian barat atau daerah Yogyakarta  diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang berkuasa dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sementara bagian timur atau wilayah Surakarta tetap diperintah oleh Pakubuwana III dengan sebutan Kasunanan Surakarta.

Sementara itu, perlawanan Raden Mas Said berakhir dalam perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya mengangkat Raden mas Said sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. 

Itulah tentang Perjanjian Giyanti, yang memisahkan Mataram menjadi dua wilayah yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dalam bahasa Jawa, Perjanjian Giyanti sering disebut dengan Perjanjian Palihan Negari yang membagi dua wilayah. Bagaimana pendapat teman- teman tentang perjanjian Giyanti? Apakah perjanjian tersebut memang benar- benar meredakan konflik yang terjadi? Yuk tuliskan di kolom komentar ya?

Salam. 

Formulir Kontak