Ahzaa.Net: Budaya
Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, Menelisik Perjuangan Ki Hajar Dewantara ke Museum Dewantara Kirti Griya di Yogyakarta

Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, Menelisik Perjuangan Ki Hajar Dewantara ke Museum Dewantara Kirti Griya di Yogyakarta

Tanggal 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional. Tanggal tersebut merupakan hari kelahiran dari Bapak Pendidikan Nasional yaitu Ki Hadjar Dewantara yaitu tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. 

Ada bermacam cara untuk memeringati hari Pendidikan Nasional, salah satunya adalah dengan berkunjung ke Museum Dewantara Kirti Griya yang ada di Yogyakarta. Seperti kita ketahui, bahwa museum merupakan tempat yang difungsikan untuk menyimpan benda- benda bersejarah yang bernilai sejarah dan berkultural tinggi sehingga generasi mendatang dapat mempelajari, memahami dan mewujudkan nilai- nilai yang ada di dalamnya. 

Museum Dewantara Kirti Griya merupakan museum yang dibangun untuk memberikan gambaran tentang riwayat hidup dan sejarah perjuangan Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan dan Pahlawan Nasional. Museum yang terletak di Jalan Tamansiswa no. 31 Yogyakarta Kompleks Majelis Luhur Tamansiswa ini dulunya adalah bekas rumah Ki Hadjar Dewantara yang resmi dihuni oleh beliau dan keluarganya bertepatan dengan peresmian Pendapa Agung Taman siswa pada tanggal 16 November 1938.

Museum Dewantara Kirti Griya


Museum Dewantara Kirti Griya diresmikan pada tanggal 2 Mei 1970 berbarengan dengan hari Pendidikan Nasional oleh Nyi Hadjar Dewantara sebagai Pemimpin Umum Tamansiswa. Nama Dewantara Kirti Girya diambil dari tiga unsur kata yaitu Dewantara, Kirti dan Griya, dimana Dewantara diambil dari nama Ki Hadjar Dewantara, sementara Kirti artinya pekerjaan dan Griya yang berarti rumah. 

Ada tiga layanan museum yaitu layanan kunjungan, layanan edukasi dan layanan fasilitasi. Layanan kunjungan Museum Dewantara Kirti Griya merupakan layanan kunjungan biasa pengunjung  baik pribadi maupun rombongan yang dibuka selama jam kerja. Para pengunjung dapat mengakses ruang pameran dan melihat koleksi museum yang ada. Selain layanan kunjungan reguler, museum juga menyediakan layanan edukasi berupa pemanduan, praktik kerja museum dan bimbingan penelitian kepada masyarakat. Layanan fasilitasi juga disediakan kepada pengunjung untuk mengakses fasiltas-fasiltas yang ada di museum, seperti ruang pameran tetap dan perpustakaan.

Museum Dewantara Kirti Griya memiliki koleksi berbagai benda bukti material hasil budaya manusia, alam dan lingkungan yang disimpan dalam museum. Pertama, Terdapat bangunan yang merupakan rumah bekas tempat tinggal Ki Hadjar Dewantara sekeluarga dan pendapa Agung Taman Siswa yang dilengkapi dengan koleksi realia yang mencakup naskah, pakaian, perabotan, perlengkapan kerja, film dokumenter, surat-surat. Selain itu terdapat foto-foto, lukisan, pecah belah, surat kabar, majalah, buku-buku dengan total koleksi museum sebanyak 3.257 buah yang terdiri atas koleksi historika sebanyak 1.207 buah  dan koleksi Filologika sebanyak 2.050 buku.

Memasuki areal museum, pada bagian depan, pengunjung akan melijhat benda- benda yang pernah dimiliki dan digunakan oleh Ki Hadjar Dewantara seperti baju beliau saat dipenjara di Pekalongan. Selain itu juga terdapat tempat tidur beliau yang masih terawat sampai kini. Pengunjung juga dapat mencermati pula mesin ketik yang pernah dipakai oleh Ki Hadjar Dewantara bermerk Olympia model Simplex. 

Tempat Tidur Ki Hadjar Dewantara


Lebih masuk ke dalam yaitu Ruang Pamer 2, kamu akan disuguhi foto- foto dokumentasi dari beberapa cabang Tamansiswa, kursi goyang, lemari, jam, koleksi souvenir dan lambang taman siswa berwarna emas yang dulu pernah digantung di Pendopo Agung Tamansiswa pada 1938 hingga 1980 an. 

Area Ruang Pamer 3 menyuguhkan meja kursi tamu, telepon, foto dokumentasi, dan patung Ki Hadjar Dewantara. Area ini berada di sebelah kanan ruang keluarga. Terdapat sebuah meja dan empat kursi tamu untuk menjamu tamu. Selain itu terdapat pula Surat dari Presiden Soekarno yang meminta beliau untuk menjadi Menteri Pendidikan. Pada ruang pamer ini pengunjung dapat melihat patung Ki Hadjar Dewantara yang dipahat oleh Hendro jasmoro pada tahun 1972. 

Meja dan Kursi untuk menjamu tamu

Di sebelah kanan ruang tamu utama, pengunjung dapat memasuki ruang pamer 4 yang berisikan piano dengan not lagu “Kinanthi Sandoonge” in pelok compositie, meja kerja, foto dokumentasi, kumpulan buku Ki Hadjar Dewantara, radio, piagam penghargaan tertinggi Indonesia yaitu Bintang Mahaputra Adipura, dan bendera Tamansiswa.

Memasuki ruang pamer 5 yang berada di sebelah kanan ruang kerja Ki Hadjar Dewantara, terdapat meja rias Nyi Hadjar , Lukisan foto Nyi Hadjar, koleksi kebaya dan kain Nyi Hadjar beserta keluarga, dan perlengkapan Ki Hadjar Dewantara beserta istrinya. 

Tempat Tidur Nyi Hadjar Dewantara

Di sebelah kanan kamar tidur Nyi Hadjar Dewantara, pengunjung memasuki ruang pamer 6. Pada ruang ini pengunjung dapat melihat lemari pakaian, foto Ki Hadjar Dewantara beserta istri dan anaknya, tempat tidur, dan gamelan Taman Siswa.

Selain ruang pameran, museum ini juga dilengkapi dengan sarana perpustakaan yang menyediakan koleksi langka yang terdiri atas koleksi majalah Pusara, manuskrip dan lainnya.

Oya, untuk mengunjungi museum, perhatikan jadwalnya, yaitu Senin  hingga Kamis, dibuka mulai jam 08.00 sampai jam 13.00, pada hari Jum’at yaitu pukul 08.00 sampai 11.00 dan hari Sabtu, dibuka pada pukul 08.00 sampai 12.00. 

Sementara itu museum tutup pada hari besar nasional dan hari Minggu. Kunjungan yang dilakukan di luar hari/jam buka dapat dilakukan dengan pemberitahuan sebelumnya.

Itulah tentang museum Dewantara Kirti Griya di Yogyakarta, semoga kita dapat meneladani nilai- nilai kepahlawanan beliau khususnya dalam bidang pendidikan. Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei.  
Mengenal Fahombo Batu, Tradisi yang Heroik dan Prestisius dari Suku Bangsa Nias

Mengenal Fahombo Batu, Tradisi yang Heroik dan Prestisius dari Suku Bangsa Nias

Kita tidak akan dapat mengira ada sekelompok orang yang memiliki kemampuan melompati batu setinggi dua meter dengan ketebalan empat puluh centimeter dengan mudahnya. Bagi orang biasa pada umumnya, hal tersebut terasa mustahil namun untuk suku Bangsa Nias di Pulau Nias, Sumatra Utara ini, tradisi tersebut menjadi sebuah hal yang umum dilakukan. 

Yap, tradisi ini terkenal dengan sebutan Fahombo Batu, yaitu sebuah tradisi Lompat Batu di Nias. Fahombo Batu merupakan sebuah tradisi yang unik dan menjadi ciri khas dari masyarakat Nias, pasalnya dilakukan oleh hanya kaum laki- laki dengan melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 meter dan ketebalan 40 cm. 

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/


Tradisi akrobatik tersebut juga tidak dilakukan oleh semua orang Nias, yaitu hanya dilakukan oleh mereka yang bermukim di Nias Selatan khususnya daerah Teluk Dalam. Hal tersebut dikarenalan adanya perbedaan budaya nenek moyang atau leluhur dari masyarakat Nias sendiri.

Tradisi Lompat Batu menjadi terkenal hingga dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung dan melihat sesi akrobatik tersebut. 

Tradisi tersebut memiliki makna yang mendalam. Selain menunjukkan kekuatan dan ketangkasan para pemuda yang melakukannya, namun juga menampilkan sisi- sisi pemuda yang heroik dan prestisius, untuk dirinya sendiri, bagi keluarga dari pelompat batu tersebut, maupun bagi seluruh masyarakat desa.

Anak laki- laki yang mampu melakukan Lompat Batu biasanya akan dianggap matang dan menjadi pembela bagi desanya apabila terjadi gesekan dengan daerah lainnya. Selain itu juga menjadi keabsahan bagi pemuda untuk sudah mulai menjalankan kewajiban sosial mereka sebagai manusia dewasa termasuk menginjak kematangan untuk menikah. Setelah acara selesai dilaksanakan, maka diadakan syukuran sederhan dengan menyembelih hewan ternak seperti ayam dan sebagainya. 

Tingkat prestisius tradisi yang berlangsung akan mendorong semangat para pemuda dalam masyarakat Nias untuk berlatih keras agar dapat mencapai target yang diharapkan, bahkan latihan dilakukan semenjak anak berusia 7 tahun. Mereka akan berlatih dari lompatan ringan dengan tali yang ketinggiannya akan ditingkatkan seiring pertambahan usia. 

Meskipun sudah berlatih lama, tidak semua pemuda dapat melakukan tradisi lompat batu dengan lancar, tentu saja hal ini membuktikan bahwa tradisi tersebut bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Berbagai teknik khusus diperlukan agar tidak terjadi cidera otot hingga patah tulang akibat faktor ketinggian batu, kekerasan batu dan ketiadaan pengaman apapun untuk melompat. Pada masa lalu, atas batu bahkan ditutupi paku dan bambu runcing yang menyerupai benteng pertahanan musuh penuh dengan ranjau. 

Awal mula Tradisi Fahombo Batu dilakukan pun tidak diketahui secara pasti, namun masyarakat setempat berpendapat bahwa tradisi dapat bermula dari zaman kuno dimana ketangkasan melompati batu sangat diperlukan oleh masyarakat NIas karena adanya benteng atau pagar yang mengelilingi desa untuk pertahanan. Hal ini menjadikan para pemuda harus pandai melompat dan melarikan diri atau dapat memasuki desa yang menjadi sasaran. 

Ada yang mempercayai bahwa ada keterlibatan unsur magis dalam tradisi ini yaitu berkat dari roh leluhur dan arwah pelompat batu yang sudah meninggal kepada pelompat yang berhasil melakukan tradisi Fahombo Batu. Oleh karenanya, setiap lompatan batu yang dilakukan, seseorang akan meminta izin kepada roh- roh leluhur atau para pendahulu yang pernah menjadi pelompat batu agar diberikan keselamatan saat menjalankan tradisi Lompat Batu. 

Itulah sekilas tentang Lompat Batu, sampai jumpa lagi di tulisan bertajuk budaya lainnya. 

Semoga Bermanfaat. 
 Mengenal Tari Soya- Soya, Tarian Sarat Makna Kepahlawanan dari Ternate

Mengenal Tari Soya- Soya, Tarian Sarat Makna Kepahlawanan dari Ternate

Tari Soya- Soya merupakan sebuah tarian yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu di daerah Ternate, Maluku Utara. Tarian heroik ini merupakan  perlambangan atas perjuangan rakyat Kayoa, Kabupaten Halmahera Selatan dalam menyambut pasukan setelah mereka bertempur di medan perang melawan penjajah khususnya Portugis. 

Tari Soya- Soya diciptakan pada masa Sultan Baabullah yang diilhami dari pengobaran semangat pasukan pasca meninggalnya Sultan Khairun pada tanggal 25 Februari 1570. Dalam catatan sejarah bahwa pada tahun 1570 sampai 1583, Sultan Baabullah dan pasukannya menyerbu Benteng Nostra Senora del Rosario atau disebut benteng Kastela untuk mengambil jenazah ayahnya yaitu Sultan Khairun yang dibunuh dengan kejam oleh tentara Portugis. Hal inilah yang menjadi titik tolak perjuangan rakyat Kayoa dalam melawan penjajah dengan mengepung benteng tersebut. 

source picture : https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/


Dalam pertunjukannya, tari Soya- Soya ditampilkan dalam pakaian berwarna putih dan kain sambungan semacam rok yang berwarna warni seperti merah, hitam, kuning dan hijau. Para penari juga memakai ikat kepala yang berwarna kuning (taqoa) sebagai simbol pahlawan perang dan dilengkapi dengan ngana- ngana (sejenis pedang) dari bambu yang berhiaskan daun palem (woka) berwarna merah, kuning, hijau dengan dilengkapi kerincing atau biji jagung di dalamnya. Setiap penari juga membawa salawaku (perisai) sebagai kelengkapan dari pedang tersebut. Para penampil dalam Tari Soya- Soya tidak ditentukan, empat orang penari hingga ribuan orang penari dapat menampilkan tari Soya - Soya ini.

Tarian diiringi dengan musik pengiring dari tifa (gendang) ), saragai (gong) dan tawa- tawa (bono yang ukurannya kecil). Seperti dalam sebuah perang, para penari akan mempertunjukkan tarian yang menyimbolkan gerakan dalam peperangan seperti menyerang, menangkis dan mengelak. 

Tari Soya- Soya selama ratusan tahun sudah melekat pada rakyat Maluku Utara, bahkan semenjak kecil anak- anak sudah diajarkan tarian ini. Dan saat ini tari Soya Soya pun menjadi tarian yang diajarkan pada tingkat sekolah dasar. Tarian Soya Soya saat ini banyak ditampilkan untuk menyambut tamu kehormatan atau dari pihak kesultanan sehingga sering menjadi atraksi pariwisata saat para wisatawan mengunjungi Ternate. 
Raden Ayu Lasminingrat : Pionir Pendidikan Indonesia yang menjadi Tokoh Google Doodle Hari ini, Simak Perjuangannya

Raden Ayu Lasminingrat : Pionir Pendidikan Indonesia yang menjadi Tokoh Google Doodle Hari ini, Simak Perjuangannya

Google Doodle hari ini menampilkan seorang tokoh yang bernama Lasminingrat, sebagai bentuk apresiasi untuk merayakan ulang tahun beliau yang ke 169. Sebenarnya siapa Lasminingrat dan apa perjuangannya hingga pada 29 Maret 2023 ini menjadi tokoh di Google Doodle?

Lasminingrat atau lebih lengkapnya bernama Raden Ayu Lasminingrat merupakan seorang pionir dalam bidang pendidikan di daerah Sumedang Jawa Barat. Beliau lahir pada tahun 1854 dan wafat pada tanggal 10 April 1948 dalam usia 105 tahun. Bernama Soehara pada saat lahir, Raden Ayu Lasminingrat adalah putri dari seorang ulama, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasminingrat juga merupakan istri dari Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII, Bupati Garut. 

source picture : https://budaya.jogjaprov.go.id/


Lasminingrat merupakan satu- satunya wanita pribumi di daerahnya yang memiliki kecakapan dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masa tersebut. Hal ini karena beliau diasuh oleh teman Belanda ayahnya, Leyson Norman saat mengenyam pendidikan di sekolah Belanda di Sumedang.

Lasminingrat mengawali perjuangannya dalam dunia kepenulisan dimana pernah menerbitkan buku Carita Erman yang merupakan terjemahan dari Christoph von Schmid, disusul karya Warnasari atawa roepa-roepa dongeng. Kedua karyanya menjadi salah satu buku pelajaran yang digunakan di daerahnya hingga diterjemahkan ke bahasa lainnya seperti Melayu.

Lasminingrat merintis perjuangan melalui jalur pendidikan setelah menikah dengan Bupati Garut Rd. Adipati Aria Wiratanudatar VII, dimana beliau mendirikan Sekolah Kautamaan Puteri pada tahun 1911 sebagai dukungan atas usaha Dewi Sartika mendirikan Sakola Kautamaan Putri.

Selama berkecimpung dalam dunia pendidikan, banyak karya- karya Eropa yang telah beliau sadur, salah satunya  cerita karya Grimm yang popular di Eropa pada masanya. Hal tersebut tidak lain adalah alasannya agar kaumnya dapat membaca karya-karya penulis Eropa tersebut dan dapat mengambil hikmahnya pada kaum perempuan Sunda. Kemudian kumpulan saduran tersebut diterbitkan oleh percetakan milik pemerintah, Landsdrukkerji dengan judul Tjarita Erman pada tahun 1875. Pada tahun berikutnya karya kedua dengan judul Warnasari atawa Roepa-roepa Dongengpun pun menyusul terbit.

Lasminingrat bisa dianggap sebagai pelopor pergerakan melalui jalur pendidikan pasalnya beliau berjuang sebelum angkatan tokoh wanita seperti R.A. Kartini dan Raden Dewi Sartika belum lahir. Sebagai pionir, nama besar Lasminingrat masih tidak sepopuler dibandingkan nama kedua pahlawan wanita tersebut. Akan tetapi karya dan tulisannya tidak serta merta tenggelam. Hasil perjuangan berupa tulisan masih banyak ditemukan sebagai buku bahan bacaan di Sekolah Rakyat atau sekolah Dasar di daerah Jawa Barat, sementara sekolah yang didirikan masih kokoh terlihat di kota Garut.

Semoga informasi di atas bermanfaat, dan selamat menjalani aktivitas.

Referensi Tulisan : 
https://budaya.jogjaprov.go.id/berita/detail/1303-raden-ayu-lasminingrat-tokoh-intelektual-pertama
Mengenal Kaghati Kolope, Tradisi Permainan Layang- Layang Tradisional Masyarakat Suku Muna di Sulawesi Tenggara

Mengenal Kaghati Kolope, Tradisi Permainan Layang- Layang Tradisional Masyarakat Suku Muna di Sulawesi Tenggara

Adakah yang suka bermain layang- layang? Bermain layang- layang memang menjadi sarana hiburan tersendiri, bisa melepas penat dan menyalurkann hobi. Nah, berbicara tentang layang- layang, ternyata ada sebuah tradisi unik permainan layang- layang tradisional di Indonesia dari Masyarakat suku bangsa Muna Sulawesi Tenggara yang konon dianggap tradisi layang- layang tertua di dunia yaitu Kaghati Kolope

Layangan Tertua di Dunia
Kaghati Kolope atau permainan layang- layang tradisional  merupakan warisan dari nenek moyang suku bangsa Muna sejak 4000 tahun lalu. Hal itu diketahui dari penelitian yang dilakukan oleh Wolfgang Bick, seorang Consultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography dari Jerman pada tahun 1997 di Muna. Ia menemukan tulisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang dalam Gua Sugi di Desa Liangkobori yang menunjukkan adanya seseorang sedang bermain layang- layang tergambar pada dinding batu menggunakan tinta warna merah campuran tanah liat dan getah pohon. Pendapat ini tentu saja membantah klaim tentang teori layang- layang pertama yang berasal dari China sekitar 2400 tahun lalu. 

https://www.goodnewsfromindonesia.id/


Terdapat suatu pandangan bahwa layang- layang Kaghati merupakan manifestasi suku bangsa Muna kuno dalam menyembah api, pasalnya mereka meyakini bahwa api  bersumber pada matahari yang mereka yakini sebagai Tuhan. Salah satu cara untuk menuju kepada Tuhan bagi mereka adalah dengan menerbangkan layang- layang tersebut selama tujuh hari. Dan tepat pada hari ketujuh, mereka akan memutus tali layang- layang sehingga dapat terbang menuju tempat Tuhan mereka bersemayam. Layang- layang tersebut juga akan memberikan perlindungan dari siksa api neraka setelah suku bangsa Muna meninggal dunia.

Tradisi Layangan
Adapun setelah masuknya Islam ke Muna, acara ritual tersebut tidak dilakukan oleh masyarakat, namun acara masih tetap dilangsungkan dengan naiknya layang- layang sejak sore sampai pagi hari selama 7 hari 7 malam. Dalam masa tersebut, upacara akan dihelat untuk memutus tali layangan apabila layang- layang yang sedang terbang tidak dapat diturunkan.

Layangan akan digantung berbagai sesajen yang berupa ketupat atau makanan lainnya dengan niat bahwa seluruh rintangan yang membawa kesialan akan hilang bersama layang- layang yang telah diputus talinya. Masyarakat juga mempercayai bahwa layang- layang tersebut digunakan untuk menjaga sawah dan ladang dari serangan hewan seperti burung dan babi hutan.

Bahan Pembuatan Layangan
Layang- layang Kaghati terbuat dari daun kolope sejenis ubi hutan dan bambu rami serta serat daun nanas hutan yang dipintal untuk benangnya. Bahan layang- layang kemudian dirangkai menggunakan kulit bambu yang dihaluskan dan diruncingkan. Beberapa kayu dalam potongan kecil akan dipotong dan dipasang pada bagian sayap kiri dan kanan layang- layang untuk menyeimbangkan layang- layang.

Layang- layang Kaghati memiliki ukuran 1,9 meter dan lebar 1,5 meter sehingga membutuhkan tiupan angin yang cukup kencang untuk menerbangkannya. Layang- layang akan dapat bertahan selama tujuh hari di angkasa jika tiupan angin menderu kencang.

Jenis- Jenis Layangan
Masyarakat Muna sendiri menggolongkan beberapa jenis Kaghati berdasarkan bentuk dan ukurannya meskipun pada dasarnya Kaghati dibuat dengan tidak berpatokan pada ukuran tertentu. 

Bhangkura, merupakan jenis yang paling umum dibuat, dengan bentuk wajik, model sederhana dengan panjang tiang yang sama bagian vertikal dan horisontal. Pada pertengahan tiang horisontalnya diikat pada seperlima bagian atas pada tiang vertikal. 

Bhalampotu atau dikenal dengan Matobua, merupakan jenis layang- layang yang tiang vertikalnya lebih pendek daripada tiang horisontalnya. Ciri- cirinya adalah pada pertengahan tiang horisontalnya diikat 2/5 bagian atas tiang vertikalnya. 

Kasopa merupakan jenis layangan yang hampir mirip dengan Bhalampotu, yaitu tiang vertikal lebih pendek  daripada tiang horisontal. Ciri lainnya adalah pada pertengahan tiang horisontal diikat kurang lebih 3/7 bagian atas di tiang vertikal.

Wantafotu, memiliki ciri khas yaitu tiang vertikal lebih pendek dari tiang horizontal dengan perbandingan 1 : 1,2 sementara ikatan terdapat pada pertengahan tiang horizontal kurang lebih 5/9 bagian atas tiang vertikal.

Salabanga, merupakan jenis layangan yang bentuknya menyerupai jenis bhangkura tetapi pada sisi-sisinya tidak terlalu berimbang.

Sopi Fotu, memiliki bentuk yang hampir mirip dengan jenis Bhangkura dan Salabanga namun lebih lancip pada sisi atasnya. Layangan ini dapat terbang dengan kecepatan yang tinggi di udara. 

Itulah tentang Kaghati Kolope, Tradisi Permainan Layang- Layang Tradisional Masyarakat Suku Muna di Sulawesi Tenggara. Indonesia Semoga warisan nenek moyang bangsa Indonesia akan tetap lestari dan terjaga sampai nanti. 
Mengenal Congklak: Permainan Tradisional Sarat Makna

Mengenal Congklak: Permainan Tradisional Sarat Makna

Teman- teman, tahukah kalian dengan permainan tradisional warisan dari zaman dulu yang alat permainannya menggunakan papan dan biji- bijian? Yap benar sekali ya teman- teman, itulah permainan Congklak. 

Sebutan Congklak di Berbagai Daerah
Congklak memiliki nama yang berbeda- beda di tiap daerah. Di Jawa, permainan congklak disebut Dhakon atau Dhakonan, sementara itu di daerah Sulawesi, permainan tersebut dikenal dengan nama Maggaleceng, Nogarata, Makaotan ataupun Anggalacang. Namun di beberapa daerah termasuk Sumatra, permainan ini tetap disebut Congklak. Pada masyarakat Betawi, permainan Congklak dengan sebutan yang sama, namun beberapa yang menamainya dengan sebutan Main Punggah. Permainan Congklak juga dikenal di luar negeri, seperti di Malaysia yang juga menyebut dengan sebutan sama yaitu Congklak. 

Congklak
Sumber : https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/


Alat Permainan
Permainan Congklak biasanya dimainkan dengan menggunakan alat berupa papan yang disebut papan congklak yang terbuat dari kayu maupun plastik. Namun ada pula yang secara spontan memainkannya di tanah dengan membuat lubang- lubang kecil dan lubang besar sebagai induk atau rumahnya. Congklak yang terbuat dari papan memiliki prinsip yang sama dengan yang dimainkan di tanah, yaitu pada papan tersebut terdapat lubang berjumlah 16 buah lubang, terdiri 14 buah lubang yang saling berhadapan dan dua lubang besar di kedua sisinya (sebutan rumah bagi para pemain). Selain papan, terdapat pula biji yang terbuat dari biji- bijian, cangkang kerang, batu- batuan, kelereng maupun plastik. Biji- bijian dalam permainan Congklak biasanya berjumlah 98 buah. Pemain akan menempati sisi- sisi yang memiliki 7 lubang kecil dan satu lubang besar sebagai milik pemain tersebut. 

Cara Permainan
Untuk memainkan permainan Congklak, dua orang pemain berhadapan dengan papan Congklak di tengah mereka. Pemain pertama dapat memilih lubang yang akan diambil dan meletakkan biji ke dalam lubang sebelah kanan dan seterusnya. Saat biji yang ada di lubang kecil habis, maka ia akan mengambil biji- biji tersebut dan melanjutkan mengisi dan jika biji habis di lubang besar miliknya, maka ia dapat melanjutkan dengan memilih lubang kecil di sisinya. Demikian juga yang dilakukan oleh pemain kedua. 

Jika biji- biji congklak yang ada di lubang kecil di sisinya habis, maka ia akan berhenti dan akan mengambil seluruh biji di sisi yang berhadapan (sisi lawan). Akan tetapi jika lubang di sisi yang berhadapan itu kosong maka ia akan berhenti dan tidak akan mendapatkan apa- apa. Langkah- langkah tersebut dimainkan sampai seluruh biji habis di kedua sisi dan tidak ada lagi biji yang dapat diambil karena seluruh biji terdapat pada lubang besar yang dimiliki oleh kedua pemain. Pemain dengan jumlah biji terbanyak ditahbiskan menjadi pemenang permainan Congklak.

Pemain Congklak
Permainan Congklak dapat dimainkan oleh semua umur baik orang dewasa laki- laki maupun perempuan. Namun secara umum, Congklak dimainkan oleh anak- anak perempuan yang berusia 6 -12 tahun. Satu papan permainan Congklak hanya dapat dimainkan oleh dua orang pemain.  

Kaya Makna
Satu hal yang menarik dari Congklak adalah permainan tersebut kaya akan makna. Layaknya permainan tradisional lainnya, permainan Congklak memberikan pembelajaran bagi kita bahwa hal yang dilakukan pada saat ini akan berpengaruh terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Congklak juga mengajarkan bahwa manusia itu tidak boleh bermusuhan,  bersaing secara sehat, dan seyogyanya harus selalu memberi dan menerima secara seimbang dalam kehidupan. 

Selain nilai- nilai di atas, Congklak memberi pelajaran berharga bahwa sikap jujur akan membawa kepada kemujuran, hal itu terlihat saat kita mengambil biji Congklak satu persatu secara jujur,maka lama- kelamaan simpanan yang terdapat pada lubang Induk (rumah) kita akan penuh. Hal iotu menyiratkan bahwa orang yang sukses (disimbolkan dengan jumlah biji terbanyak) mereka yang mau beramal, menabung banyak dan memahami strategi yang baik dalam hidup.

Itulah permainan tradisional Congklak, yang sarat akan makna. Kalau di dearah kalian, apakah juga sama disebut Congklak? Yuk bisa isi di kolom komentar yaa?
Semarak Tradisi Dugderan, Budaya Menyambut Bulan Ramadhan di Semarang

Semarak Tradisi Dugderan, Budaya Menyambut Bulan Ramadhan di Semarang

Tahukah teman- teman dengan tradisi Dugderan? Yap, biasanya tradisi ini dimeriahkan pada saat menjelang bulan Ramadhan di Kota Semarang. Sejarahnya, tradisi Dugderan ini sudah ada pada masa Bupati KRMT Purbaningrat pada tahun 1881. Pada masa itu, tepat sehari menjelang Ramadhan, bedug di Masjid Besar Kauman dipukul diikuti dengan penyulutan meriam di halaman pendapa kabupaten di Kanjengan.

Nah, suara bedug yang berbunyi "dug" dan meriam yang berbunyi "der" inilah yang menjadi cikal bakal nama Dugderan. Alun- alun Masjid Agung Kauman yang menjadi sentral pelaksanaan tradisi Dugderan pun menjadi tempat berkumpul masyarakat sembari memperhatikan pengumuman penentuan awal bulan puasa yang diberikan oleh Kanjeng Bupati dan Imam Masjid Besar. 

Warak Ngendhog
Sumber : https://visitjawatengah.jatengprov.go.id


Tradisi Dugderan memuat tiga acara yaitu pasar Dugderan, prosesi ritual pengumuman awal puasa dan kirab budaya Warak Ngendhog. Warak Ngendhog merupakan hewan mitologi dengan bentuk perpaduan antara naga, buraq dan kambing. Warak Ngendhog berwujud hewan yang berkepala naga, berbadan buraq dan berkaki kambing. Warak Ngendhog juga menyimbolkan percampuran tiga budaya yaitu budaya China, Arab dan Jawa. 

Secara bahasa Warak Ngendhog berasal dari bahasa arab yaitu kata Wara yang berarti suci, sementara Ngendhog berasal dari bahasa jawa yang berarti bertelur. Sehingga makna dari Warak Ngendhog sendiri secara makna adalah siapapun yang menjaga kesucian di bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala di akhir yaitu pada hari Raya Lebaran.

Di Kota Semarang, tradisi Dugderan biasanya dimeriahkan dengan prosesi kirab Dugderan yang dimeriahkan oleh tarian Warak Ngendhog. Pengumuman bulan Ramadhan sendiri biasanya dilakukan oleh walikota yang memerankan Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat sebagai Adipati pada waktu itu. 

arak arakan Dugderan
Sumber : https://visitjawatengah.jatengprov.go.i


Peran Bupati kemudian melakukan prosesi penyerahan Suhuf Halaqoh yaitu dari alim Ulama Masjid Agung Kauman Semarang kepada Bupati untuk dibacakan pengumumannya. Pembacaan pengumuman datangnya bulan suci Ramadhan tersebut akan diikuti oleh pemukulan bedug serta suara petasan meriam. 

Biasanya setelah prosesi pembacaan, peran Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat akan membagikan kue khas Semarang, Ganjel Rel dan air Khataman Alquran yang dimaknai sebagai kerelaan untuk meninggalkan hal-hal yang mengganjal ketika memasuki bulan Ramadhan dan membuat hati menjadi bersih dengan meminum air Khataman Al Quran.

Tidak sampai disitu, prosesi masih akan berlanjut dengan penyerahan Suhuf Halaqoh dari walikota yang berperan sebagai Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat kepada Gubernur Jawa Tengah selaku Kanjeng Tumenggung Raden Mas Haryo Purbo Hadi Kusumo. Gubernur akan menyampaikan kepada warga bahwa bulan Ramadhan telah tiba dan diikuti tradisi pukul Bedug Mangunsari di Masjid Agung Jawa Tengah. 

Selain mempertahankan budaya, tradisi Dugderan memiliki makna yang penting yaitu terjalinnya kerukunan antarmasyarakat dan keberlangsungan fungsi agama dalam masyarakat. 

Kira- kira kalau menjelang Ramadhan, tradisi apa yang ada di daerahmu? Tuliskan di kolom komentar ya?

Salam budaya.
Mengenal Tradisi Mesabat Sabatan Biu, Tradisi Perang Pisang dari Karangasem Bali

Mengenal Tradisi Mesabat Sabatan Biu, Tradisi Perang Pisang dari Karangasem Bali

Teman- teman, pernahkah kalian mendengar tentang tradisi Mesabat-sabatan Biu? yaitu salah satu tradisi yang berasal dari Karangasem, Bali. 

Dalam Bahasa Indonesia, Mesabat-sabatan Biu disebut dengan Perang Pisang. Unik ya? Penasaran detailnya bagaimana? Yuk simak tulisan ini sampai selesai.

Mesabat-sabatan biu merupakan adat istiadat yang sudah dilakukan secara turun temurun pada masyarakat Desa Tenganan Dauh Tukad, Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali. 

Mesabat-sabatan biu berasal dari kata mesabatan yang berati saling lempar dan biu yang berarti pisang, sehingga jika digabungkan kedua kata tersebut, berarti Saling lempar Pisang atau Perang Pisang. Sejak kapan tradisi ini dimulai, masih belum ditemukan bukti tertulisnya, akan tetapi berdasarkan beberapa fakta sejarah, tradisi ini merupakan pengaruh dari kerajaan Majapahit.

Mesabat-sabatan biu termasuk dalam rangkaian Usaba Katiga yaitu upacara yang dilaksanakan pada bulan ketiga perhitungan kalender Tenganan Dauh Tukad. Tradisi ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan diantaranya :
  1. Ngantung, memberi jajanan yang berbentuk binatang di Bale Agung.
  2. Penampahan, yaitu proses memotong Babi sampai pada pengolahannya untuk keperluan sesajen.
  3. Ngelawang, yaitu keliling desa yang dilakukan oleh para pemuda dengan membawa sok bodag sebagai tempat untuk menaruh sumbangan warga.
  4. Ngalang, yaitu memetik buah khususnya pisang dan kelapa. Kedua buah ini yang nantinya digunakan untuk tradisi

Pelaksanaan Mesabat -sabatan Biu
Ada dua kelompok pemuda, dimana kelompok pertama terdiri dari pemuda yang berjumlah 16 orang atau lebih. Mereka bertindak sebagai pelempar pisang. Sementara itu kelompok kedua terdiri atas dua orang pemuda desa yang berperan sebagai saye dan penampih saye dimana kedua pemuda ini harus bisa melewati kumpulan pemuda lainnya yang akan melempari mereka dengan buah pisang sampai tiba di batas Pura Bale Agung. 

sumber foto : Disbudpar Karangasem Bali


Selain melempar pisang, pemuda desa kelompok pertama juga akan memikul kelapa dalam jumlah yang banyak. Kelompok pemuda pelempar harus berlari sambil melempar pisang ke kelompok kedua namun barang bawaan yang dipikul tidak boleh jatuh. Jika barang bawaan jatuh, maka mereka akan terkena sangsi. 

Demikian juga dengan kelompok kedua yang berperan sebagai saye dan penampih saye yang juga harus berlari dengan memikul dan menjaga sok bodag hasil dari ngelawang agar juga tidak jatuh. 

Jika saye dan penampih saye telah mencapai pintu gerbang Pura Bale Agung, maka pelaksanaan Mesabat -sabatan biu dianggap selesai. 

Sumber foto : Disbudpar Karangasem Bali


Makna Tradisi
Ada hal yang menarik dari pelaksanaan tradisi Mesabat Sabatan Biu ini yaitu bahwa tradisi tersebut memiliki makna yang mendalam. Selain sebagai fungsi agama, tradisi ini juga memiliki fungsi sosial dimana kelompok pemuda dapat menjaga persaudaraan, kebersamaan, keakraban dan saling tolong menolong. Selain itu juga melatih agar tidak mudah memiliki rasa dendam atau emosi setelah pelaksanaan tradisi.

Itulah Tradisi Mesabat Sabatan Biu, Tradisi Perang Pisang dari Karangasem Bali. Tunggu lagi yaa tulisan- tulisan AhzaaNet tentang budaya Indonesia yang kaya dan beragam. Semoga nambah pengetahuannya. 

Formulir Kontak