Ahzaa.Net: Akhir Perang Padri
Sejarah Perang Padri : Penyebab, Tokoh, Fase Perang, dan Akhir Perang Padri

Sejarah Perang Padri : Penyebab, Tokoh, Fase Perang, dan Akhir Perang Padri

Perang padri merupakan perang antara kaum Padri dengan pemerintahan Hindia Belanda di tanah Minangkabau Sumatra Barat. 

Latar Belakang Perang Padri
Perang Padri diawali dengan perbedaan pendapat antara kaum Padri dengan kaum adat dalam hal praktik keagamaan.  Kaum Padri terdiri dari orang- orang yang melakukan gerakan pemurnian agama Islam. Gerakan ini bermula dari seorang ulama dengan nama Tuanku Kota Tua yang mengajarkan praktik pembaharuan dalam agama Islam. Ia berpendapat bahwa masyarakat Minangkabau saat itu meskipun sudah memeluk Islam  namun masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan agama Islam. 

Photo by David Iskander on Unsplash

Tokoh- Tokoh Perang Padri
Tuanku Kota Tua memiliki murid bernama Tuanku Nan Renceh yang kemudian bersama dengan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang melanjutkan gerakan pemurnian Islam seperti yang diajarkan oleh Tuanku Kota Tua. 

Kaum Padri menentang praktik adat dan kebiasaan adat yang dilarang dalam ajaran Islam seperti praktik berjudi, minum- minuman keras dan mengadu hewan. Dalam pertikaian yang terjadi, kaum adat mendapatkan dukungan dari para pejabat penting kerajaan.

Residen Minangkabau yang bernama James Du Puy pada tanggal 10 Februari 1821 mengadakan perjanjian dengan tokoh adat, Tuanku Suruaso dan 14 penghulu Minangkabau yang isinya tentang daerah pendudukan Belanda yang mencakup beberapa wilayah. 

Perjanjian tersebut memudahkan Belanda untuk menduduki Simawang yaitu pada tanggal 10 Februari 1821 dengan menempatkan dua meriam dan 100 tentaranya. Hal ini  tentu saja ditentang oleh kaum Padri dan memicu terjadinya Perang Padri. 

Perang Padri dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap I pada tahun 1821 - 1825, tahap II pada 1825 - 1830 dan tahap III pada 1830 - 1837/ 1838. 

Fase I (1821 - 1825)
Kaum Padri mulai menyerang pos- pos di Simawang, soli Air, dan Sipinang pada bulan september 1821. Dari segi kekuatan perang, terdapat sekitar 20.000 - 25.000 pasukan digerakkan oleh Tuanku Pasaman di sekitar hutan dan gunung. sementara itu pihak Belanda menggunakan kekuatan 200 tentaranya dan pasukan pribumi serta kaum adat yang berjumlah 10.000 orang. 

Persenjataan kaum padri masih menggunakan senjata- senjata tradisional seperti parang dan tombak sementara di pihak lawan, Belanda sudah menggunakan senjata modern. 

Dari pertempuran tersebut, jatuhnya korban tidak dapat terhindarkan, 350 orang gugur dari pihak Tuanku Pasaman termasuk putranya sendiri. Begitupun dari pihak Belanda yang juga banyak kehilangan pasukannya.

Tuanku Pasaman dan sisa pasukannya akhirnya mundur  ke Lintau sedangkan Belanda mendirikan benteng di batusangkar yang dinamai dengan Fort Van der Capellen.

Kesatuan kaum Padri terpecah di beberapa wilayah. Tuanku Pasaman di daerah Lintau, Tuanku Nan Renceh di sekitar baso dan Peto Syarif di daerah Bonjol dan beberapa daerah lainnya. 

Peto Syarif dari Bonjol kemudian dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol yang terkenal gigih dalam melawan penindasan kolonial Belanda di wilayah Minangkabau. 

Dalam melawan kaum Padri yang terkenal gigih, Belanda merasa kewalahan hingga kemudian mengambil inisiatif untuk menjalankan strategi damai. Pada tanggal 26 Januari 1824 terjadilah kesepakatan damai antara kaum Padri wilayah Alahan Panjang yang kemudian dikenal dengan perjanjian Masang. Perjanjian ini ternyata digunakan Belanda sebagai taktik menguasai wilayah lainnya. 

Kesepakatan Masang tidak berlaku lama setelah Belanda menangkap Tuanku Mensiangan di kota Lawas karena menolak untuk berunding dan memilih melawan Belanda. Sehingga  Tuanku Imam Bonjol kembali memberi semangat perlawanan terhadap Belanda.  

Fase II (1825 - 1830)
Pihak Belanda wilayah Sumatra Barat, Kolonel De Stuers berusaha mengendorkan perlawanan dengan cara upaya damai. Belanda mencoba berkomunikasi dengan kaum padri untuk mengadakan perjanjian damai dan menghentikan perang. Namun ajakan damai tersebut ditolak oleh kaum Padri karena seringkali berupa siasat licik yang sudah biasa terjadi. 

Lantas pihak Belanda meminta bantuan saudagar keturunan arab yang bernama Sulaiman Al Jufri untuk membujuk pihak Padri untuk bersepakat damai. Meskipun Tuanku Imam Bonjol menolak, ternyata ada kaum Padri lainnya yang menerima yaitu Tuanku Lintau dan Tuanku Nan Renceh. Maka ditandatanganilah perjanjian padang yang isinya mencakup poin :
  • Pengakuan Belanda atas kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan jaminan atas sistem agama di wilayahnya
  • Kesepakatan untuk tidak saling menyerang satu sama lain baik pihak Padri maupun Belanda
  • Saling melindungi kedua belah pihak baik para pedagang dan orang- orang yang melakukan perjalanan
  • Praktik adu ayam akan dilarang Belanda secara bertahap

Fase III (1830 - 1837/ 1838) 
Pada tahap III perang Padri, kaum Adat sudah mulai menunjukkan rasa simpatinya pada kaum Padri. Dukungan kaum Adat membuat kekuatan pejuang meningkat. Kaum Padri dan kaum Adat kemudian bergerak memutus sarana komunikasi antarbenteng Belanda di Tanjung Alam dan Bukittinggi. 

Belanda dibawah pimpinan Gillavary kemudian merespon dengan menyerang Koto Tuo di Ampek Angkek dan membangun benteng pertahanan dari Ampang Gadang sampai ke Biaro. Selain itu Belanda juga menduduki wilayah Batang Gadis, yang terletak antara Tanjung Alam dan Batu Sangkar. 

Gillavary kemudian digantikan oleh Jacob Elout yang mendapatkan amanat untuk melakukan serangan besar- besaran terhadap kaum Padri. 

Langkah Elout dilakukan dengan menguasai beberapa nagari seperti Manggung dan Naras, Batiapuh, dan benteng Marapalam. Benteng Marapalam dapat dikuasai pada Agustus 1831 setelah dua orang Padri berkhianat menunjukkan jalan menuju benteng. Penyerangan Belanda semakin masif diterapkan seiring bantuan pasukan dari jawa pada 1832. 

Selain strategi militer, Belanda juga menerapkan strategi lain yaitu dengan cara menarik hati rakyat. Hal itu dilakukan dengan menghapus pajak dan kenaikan upah pada beberapa pekerjaan. 

Kebijakan perdamaian mulai dilakukan Belanda dengan digantikannya Cornelis Pieter Jacob Elout oleh E Francis dimana Belanda tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau.  

Plakat Panjang
Selanjutnya pemerintah Belanda mengeluarkan Plakat Panjang sebagai pernyataan yang isinya menyangkut gencatan senjata antara Belanda dan kaum Padri. Perjanjian gencatan senjata tersebut merupakan kebijakan baru untuk mencapai perdamaian. Beberapa tokoh menyetuji dan sepakat untuk berdamai namun beberapa lainnya masih melanjutkan perlawanan.

Perjuangan Tuanku Imam Bonjol sampai Akhir
Tuanku Imam Bonjol merupakan pertahanan terakhir kaum Padri setelah kekuatan Tuanku Nan Cerdik dihancurkan. Belanda pada tahun 1832 memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di Bonjol dengan memblokade jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai. Benteng perbukitan dekat Bonjol  akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada bulan Agustus 1835. 

Belanda meminta Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Tuanku Imam Bonjol sepakat berdamai asalkan Belanda memenuhi persyaratannya yaitu membebaskan rakyat Bonjol dari bentuk kerja paksa dan tidak menduduki nagari tersebut.

Belanda tidak menjawab dan semakin ketat mengepung benteng pertahanan. Satu persatu pimpinan Padri dapat ditangkap. Pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol berhasil dikepung dan berhasil dilumpuhkan namun Imam Bonjol dan beberapa pejuang lainnya masih dapat meloloskan diri. 

Belanda masih menyerukan kepada Imam Bonjol untuk menerima tawaran berunding. Akhirnya untuk menjamin keselamatan rakyatnya, Imam Bonjol menerima tawaran damai dari Belanda. Akan tetapi tawaran tersebut hanyalah tipu muslihat yang kemudian Imam Bonjol dan pengikutnya ditangkap. 

Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat dan kemudian dipindahkan ke Ambon lalu Manado hingga wafat pada 6 November 1864. 

Formulir Kontak