Materi Sejarah : Kerajaan Sriwijaya, Pusat Kerajaan, Prasasti Peninggalan, Kehidupan dalam Politik, Sosial, Ekonomi, dan Keruntuhannya - Ahzaa.Net

Materi Sejarah : Kerajaan Sriwijaya, Pusat Kerajaan, Prasasti Peninggalan, Kehidupan dalam Politik, Sosial, Ekonomi, dan Keruntuhannya

Materi Sejarah : Kerajaan Sriwijaya, Pusat Kerajaan, Prasasti Peninggalan, Kehidupan dalam Politik, Sosial, Ekonomi, dan Keruntuhannya
Hai sahabat AhzaaNet, selamat datang kembali di blog pembelajaran kami. Kali ini kita akan belajar materi sejarah tentang suatu kerajaan yang sangat terkenal di masa lalu di nusantara yaitu kerajaan Sriwijaya. 

Keberadaan kerajaan Sriwijaya diketahui dari berbagai sumber, salah satunya berita Tiongkok pada masa dinasti Tang yang menyebutkan bahwa untuk pertama kalinya negeri Mo-lo-yeo (Melayu) mengirim utusannya ke Tiongkok pada tahun 644 dan 645 M. 

Photo by Ave Calvar on Unsplash


Dalam berita tersebut, dinyatakan bahwa di Sumatra telah terdapat beberapa kerajaan seperti To-long-pho-hwang (Tulang Bawang), Mo-lo-yeo (Melayu) di Jambi, dan Che-li-fo-che (Sriwijaya). 

Sementara itu, berita lainnya berasal dari I-Tsing yang pernah datang secara langsung ke Sriwijaya dalam perjalanan dari Kanton menuju India. Selama 6 bulan ia tinggal, keterangan tentang kerajaan Sriwijaya dituliskan dengan penggambaran bahwa kota kerajaan memiliki benteng tembok. Kota tersebut dihuni oleh lebih dari seribu biksu yang mendalami ajaran Buddha seperti halnya di India. 

Para biksu belajar di bawah bimbingan guru yang dikenal dengan nama Sakyakirti. I-Tsing juga menyarankan agar pendeta- pendeta Tiongkok agar singgah ke Sriwijaya terlebih dahulu sebelum belajar ke India untuk belajar dasar- dasar agama Buddha dan tata bahasa Sansekerta, selama setahun atau dua tahun. 

Pusat Kerajaan Sriwijaya
Pada mulanya, kerajaan Sriwijaya tidak berpusat di Palembang, namun berada di Minangatamwan, yaitu pertemuan antara sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. Hal ini diperkuat oleh beberapa bukti, yaitu sebagai berikut : 
Perjalanan suci yang dilakukan oleh Dapunta Hyang dengan tentara yang bertolak dari Minangatamwan
Isi dari prasasti- prasasti yang dikeluarkan raja menunjukkan perintah agar rakyat taat pada kerajaan Sriwijaya.
Keterangan dari I-Tsing yang mneyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya terletak di daerah Khatulistiwa. Pasalnya pada waktu tengah hari, tempat yang sesuai dengan garis khatulistiwa adalah di pertemuan aliran dua sungai yaitu sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. 

Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya 
Kerajaan Sriwijaya memiliki beberapa prasasti yang menjadi peninggalannya. Ada lima prasasti yang menggambarkan kehidupan pada masa kerajaan Sriwijaya. Raja Sriwijaya yang mengeluarkan prasasti adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Prasasti- prasasti tersebut ditulis dalam huruf Pallawa dengan menggunakan bahasa Melayu kuno. Berikut prasasti- prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya, 

Prasasti Kedukan Bukit 
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi sungai Tatang dekat Palembang. Prasasti ini berangka 683 M atau 605 Saka. Isi dari prasasti Kedukan Bukit adalah tentang perjalanan suci atau sidhayatra dari Dapunta Hyang dengan perahu selama delapan hari. Ia mengadakan perjalanan dengan diiringi tentara sebanyak dua laksa atau 20.000 orang. Melalui perjalanan ini, ia berhasil menaklukkan beberapa daerah. 

Isi dari prasasti Kedukan Bukit tersebut mengundang perdebatan dari beberapa ahli. Pasalnya, jumlah tentara yang mengiringi raja sebanyak dua laksa atau 20.000 orang sangatlah tidak mungkin dilakukan mengingat berbagai pertimbangan seperti jumlah kapal, perbekalan yang mesti dilengkapi dengan armada sebanyak itu. 

Adapun tafsir yang mungkin dipakai adalah bahwa dua laksa yang dimaksud bukanlah jumlah sebenarnya, namun hanya sebagai perhitungan yang menggambarkan begitu banyak tentara yang mengiringi raja dalam perjalanan. 

Dalam baris keenam prasasti memperkuat pendapat kedua tersebut dimana dua ratus orang menggunakan perahu dan seribu tiga ratus sepuluh dua berjalan di darat. Jadi jumlah dari tentara yang mengiringi tidak lebih dari seribu lima ratus dua belas orang saja. 

Prasasti Talang Tuo
Prasasti Talang Tuo, sesuai namanya ditemukan di sebelah barat kota Palembang, tepatnya di daerah Talang Tuo. Prasasti Talang Tuo berangka 606 saka atau 684 M. Isi dari prasasti Talang Tuo adalah tentang pembuatan sebuah taman yang dinamakan Taman Sriksetra. Taman tersebut dibuat untuk tujuan memakmurkan semua makhluk. Selain itu juga terdapat doa- doa yang menonjolkan unsur agama Buddha Mahayana. 

Prasasti Kota Kapur dan Kerang Berahi 
Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka, sementara prasasti Kerang Berahi ditemukan di daerah Jambi. Isi dari kedua prasasti tersebut sama, terkecuali dalam kalimat terakhir dari Prasasti Kota Kapur yang tidak ada dalam Prasasti Kerang Berahi. 

Kedua prasasti memiliki angka yang sama yaitu 608 Saka atau 686 M. Isi dari kedua prasasti tersebut adalah mengenai permintaan kepada para dewa agar menjaga kedaulatan Sriwijaya, dan agar menghukum orang- orang yang durhaka terhadap kekuasaan Sriwijaya. Dalam prasasti Kota Kapur disbeutkan pula bahwa Bumi Jawa tidak tunduk pada kekuasaan Sriwijaya. 

Prasasti Telaga Batu 
Prasasti Telaga Batu terdapat di daerah Telaga Batu, dekat Palembang. Prasasti ini tidak berangka tahun secara pasti. Isi dari prasasti Telaga Batu adalah berupa kutukan- kutukan bagi mereka yang melakukan kejahatan dan tidak taat terhadap perintah raja. 

Semua prasasti ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Dari prasasti- prasasti yang ditemukan dapat  disimpulkan bahwa Dapunta Hyang berkedudukan di Minangatamwan

Dapunta Hyang kemudian melakukan perluasan daerah kekuasaannya di sekitar Jambi dan selanjutnya berhasil menaklukkan Melayu. 

Setelah itu, ia mendirikan kerajaan Sriwijaya dan menaklukkan daerah- daerah di sekitar Palembang. Penaklukkan dilanjutkan terhadap Jambi Hulu dan Bangka. Berkaitan dengan salah satu kerajaan di Jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya, besar kemungkinan kerajaan tersebut adalah Tarumanegara. 

Selain itu di Lampung Selatan tepatnya di daerah Palas Pasemah, ditemukan pula sebuah prasasti yang memberi keterangan tambahan tentang kerajaan Sriwijaya. Isi dari prasasti menyebutkan bahwa pada abad ke-7 M, daerah Lampung Selatan telah jatuh ke tangan Sriwijaya. 

Dalam prasasti Ligor yang menyebutkan tahun 775 M, kerajaan Sriwijaya mendirikan pangkalan di Ligor. Adapun raja yang memerintah pada saat itu adalah Dharmasettu, yang mendirikan sejumlah bangunan suci agama Buddha. Prasasti Ligor dibangun oleh Raja Whisnu dari keluarga Syailendra. 

Kehidupan Politik 
Dalam usaha mengembangkan dan memperbesar Kerajaan Sriwijaya, pihak kerajaan mengadakan usaha ekspandi terhadap daerah- daerah lain di sekitarnya. Secara politik, hal itu berjalan dengan baik, sehingga Sriwijaya disegani oleh lawan- lawannya. 

Kerajaan Sriwijaya juga membangun hubungan dengan Tiongkok secara politis dan ekonomi. Cara itu ditempuh agar tidak ada penyerangan terhadap Sriwijaya oleh Tiongkok. 

Selain dengan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin hubungan ekonomi dan politis dengan kerajaan - kerajaan lain di Asia Tenggara. 

Sriwijaya sebagai Kerajaan Maritim yang kuat
Kerajaan Sriwijaya terkenal sebagai negara maritim dan bandar perdagangan terbesar di Asia Tenggara. Kekuatan angkatan laut yang besar ditujukan untuk menjaga dan memelihara keamanan pelayaran di selat Malaka yang sering terganggu oleh perompak- perompak laut. 

 Sriwijaya juga membangun hubungan dengan India baik secara politis maupun ekonomi. Hubungan ini dilatarbelakangi juga oleh adanya kepentingan Sriwijaya untuk menjadikan kerajaan sebagai pusat agama Buddha terbesar di Asia Tenggara. 

Sriwijaya sebagai Pusat Agama Buddha
Banyak para biksu dari Sriwijaya yang dikirim ke perguruan tinggi di Nalanda, India untuk mendalami ajaran Buddha. Dalam prasasri Nalanda berangka 9 M, disebutkan ada hadiah sebudang tanah dari Raja Dewa Paladewa untuk membangun sebuah vihara, oleh Raja Balaputradewa, raja dari Svarnadwipa. 

Pembangunan vihara ditujukan untuk kepentingan para peziarah  dari Sriwijaya yang datang ke Nalanda untuk mendalami ajaran agama Buddha. 

Dalam prasasti tersbeut juga dinyatakan bahwa Balaputradewa merupakan cucu dari Jawa yang menjadi mustika keluarga Syailendra yang bergelar Sriwirawairimathana, yang ayahnya adalah Samaragrawira

Akhir dari pemerintahan Balaputradewa tidak diketahui secara pasti, begitupun keadaan Sriwijaya. Berita China menyebutkan bahwa pada tahun 971 M, 972 M, 974 M, dan 975 M, Sriwijaya mengirimkan utusan ke China, namun raja yang mengirim utusan tidak disebutkan namanya. 

Kemudian pada tahun 980 dan 983 Raja Sriwijaya mengirim utusannya kembali. Pada tahun 992, terdapat utusan dari Jawa yang akan kembali ke negerinya, namun terpaksa menetap untuk sementara di Kanton, karena mendengar bahwa Sriwijaya sedang berperang dengan kerajaan di Jawa. Hal ini dapat dibenarkan, pasalnya, pada tahun 990, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur mengirim armadanya menyerang Sriwijaya. Saat itu, raja Sriwijaya yang berkuasa adalah Sri Sudamaniwarmadewa

Kerajaan Sriwijaya makin terkenal sebagai pusat agama Buddha, hingga pada tahun 1011 dan 1023, seorang pendeta Buddha dari Tibet yang bernama Atisa datang untuk mendapat bimbingan langsung dari pendeta tertinggi Sriwijaya yaitu Dharmakirti

Sri Sudamaniwarmadewa tidak lama memerintah yang kemudian digantikan oleh puteranya Marowijayayottunggawarman yang mengaku sebagai keturunan dinasti Syailendra. Ia tidak mengakui kekuasaan Dharmawangsa di Jawa Timur. Untuk memperkuat dirinya, ia mengadakan persahabatan dengan Raja Colamandala yang bernama Rajaraja I. 

Dalam masa pemerintahannya, Marowijayayottunggawarman, berhasil memulihkan kewibawaan Kerajaan Sriwijaya dengan kembali menduduki daerah semenanjung Malaya. 

Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya dan Colamandala yang sebelumnya bersahabat kemudian bermusuhan pada tahun 1023. Saat itu Sriwijaya diperintah oleh Sanggramawijayattunggawarman, sedangkan Colamandala diperintah oleh Rayendracoladewa, yaitu putra dari Rajaraja I. 

Pada tahun 1023, ia mengadakan serangan secara besar- besaran terhadap Kerajaan Sriwijaya. Pada serangan pertama ini, tidak membuahkan hasil, sehingga pada tahun 1030, ia kembali menyerang dan menyebabkan raja Sriwijaya dapat ditawan. 

Selanjutnya, pada tahun 1068, Colamandala mengadakan serangan terhadap daerah di semenanjung Malaya. Raja Colamandala saat itu yang bernama Wirarayendra berhasil menaklukkan Raja Kadaram dan menahannya, namun ia kemudian dilepas dengan syarat mencium kaki Raja India tersebut. 

Serangan- serangan yang mendera kerajaan Sriwijaya membuatnya semakin lemah, akan tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa kerajaan Sriwijaya kembali berkembang menjadi kerajaan besar. Hal itu dibuktikan dengan beberapa sisa- sisa bangunan suci yang berbentuk stupa dan Makara yang berangka 1064. 

Selain itu juga terdapat temuan peninggalan di Tapanuli Selatan yaitu sebuah bangunan suci agama Buddha yang disebut Biaro Bahal. 

Kehancuran Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha terbesar di Asia Tenggara disebabkan pula oleh serangan dan penaklukkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1477 M. 

Demikian Sahabat AhzaaNet tentang pembahasan kerajaan Sriwijaya, sebagai kerajaan besar yang menjadi pusat agama Buddha di Asia Tenggara. 

Semoga pembahasan di atas bermanfat untuk teman- teman semuanya. Pembahasan kerajaan- kerajaan Hindu- Buddha lainnya dapat ditemukan di artikel lain AhzaaNet

Selamat belajar 

Salam. 

Terima kasih sudah berkunjung dan belajar bersama kami. Silahkan tinggalkan komentar dengan nama dan url lengkap. Penyisipan link dalam kolom komentar tidak diperkenankan yaa...
Sekali lagi, terima kasih...
EmoticonEmoticon

Formulir Kontak