Perang Tondano II terjadi pada masa kolonial Belanda di abad ke-19. Latar
belakang dari perang Tondano II berkaitan dengan kebijakan pemerintah kolonial
Belanda untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
Gubernur Jenderal Daendels yang diutus untuk mempertahankan Jawa dari serangan
Inggris, mulai menerapkan langkahnya dengan menambah jumlah pasukan yang
berasal dari kaum pribumi. Pasukan pribumi dipilih dari suku- suku yang
memiliki keberanian dalam berperang seperti suku Madura, Dayak dan Minahasa.
Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan Residen Manado Prediger, Kapten
Hartingh untuk mengumpulkan para ukung yang bertindak sebagai pemimpin dari
suatu wilayah.
Jumlah pasukan yang akan dikirim ke Jawa ditargetkan Belanda sebanyak 2000
orang yang berasal dari Minahasa. Selain menargetkan pasukan, Belanda juga
memerintahkan rakyat Minahasa untuk menyerahkan hasil pertanian berupa beras
kepada mereka. Alih- alih menuruti, masyarakat Minahasa menentang program
Daendels untuk mengirim para pemuda Minahasa ke Jawa sebagai pasukan kolonial
dan menolak menyerahkan hasil bumi mereka.
Para ukung pun mulai meninggalkan rumah dan megadakan perlawanan terhadap
Belanda. Ukung Lunto, seorang pimpinan perlawanan bersikeras tidak akan
menuruti pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim 2000 pemuda Minahasa ke
Jawa dan menyatakan tidak akan menyerahkan hasil pertanian khususnya beras
kepada Belanda.
Melihat perlawanan dari masyarakat Minahasa, Residen Prediger kemudian
mengirimkan pasukan untuk menyerang orang- orang Minahasa di Tondano
Minawanua. Strategi lama pada perang Tondano I diterapkan pada perang Tondano
II ini yaitu membendung Sungai Temberan. Prediger menyiapkan dua pasukan, yang
mana dua pasukan tersebut disiapkan untuk menyerang dari sisi yang
berbeda.
Pasukan yang pertama, diinstruksikan untuk menyerang danau Tondano dan pasukan
lainnya menyerang melalui sisi jalur darat di Minawanua.
Pertempuran pun pecah pada 23 Oktober 1808. Serangan demi serangan pasukan
Belanda dilakukan hingga dapat menembus pagar duri bambu yang merupakan batas
danau dengan perkampungan Minawanua. Akan tetapi, para pejuang masih terus
bertahan dan tetap melakukan perlawanan hingga pasukan Belanda
kewalahan.
Pasukan Belanda terus menerus menyerang perkampungan Minawanua sampai tidak
terlihat tanda- tanda kehidupan. Ketika pasukan Belanda mengendorkan serangan,
para pejuang muncul dan menyerang dengan gigihnya sehingga banyak korban
berjatuhan dari pihak Belanda. Akhirnya, pasukan Belanda ditarik mundur.
Pada penyerangan Belanda di sisi danau, orang- orang Tondano yang didesak
melakukan perlawanan dengan sangat gigih sehingga kapal Belanda yang terbesar
pun karam di Danau Tondano.
Perang Tondano berlangsung cukup lama sampai Agustus 1809. Perang yang terus
menerus menyebabkan kelelahan dan kekurangan bahan makanan serta munculnya
pihak- pihak yang berkhianat kepada Belanda. Hingga pada tanggal 4 - 5 Agustus
1809, simbol pertahanan para pejuang, yaitu benteng Moraya dapat dihancurkan
Belanda dan hal tersebut menandai berakhirnya perjuangan yang luar biasa dari
masyarakat Minahasa pada perang Tondano II.
Waktu Perang Tondano II | Tahun 1808 -1809 |
Latar belakang Perang Tondano II | |
Pengiriman sebanyak 2000 pasukan dari Minahasa ke Jawa untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris | |
Penyerahan hasil pertanian berupa beras | |
Tokoh Perang Tondano II | |
- Pihak Belanda | Residen Manado Prediger, Kapten Hartingh |
- Pihak rakyat Minahasa | Ukung Lunto |
Akhir Perang | Hancurnya benteng Moraya pada 4 - 5 Agustus 1809 |
Itulah tentang perang Tondano II, perlawanan rakyat Minahasa terhadap Belanda.
Semoga informasi di atas bermanfaat buat semuanya.
Salam.
No comments:
Post a Comment